Senin, 25 Februari 2008

Walet

Pro-Kontra Pembangunan Sarang Walet

Rencana pembangunan sarang burung walet di Gang Beringin II, Jalan Khatulistiwa Kelurahan Batu Layang terpaksa ditunda. Soalnya, belum seluruhnya masyarakat di kawasan itu setuju.

Bahkan dari kalangan warga setempat berkali-kali telah menembuskan surat penolakan tersebut kepada beberapa lembaga pemerintahan di Kota Pontianak. Salah seorang warga Gang Beringin II, Alip, 50, mengatakan, kalau penolakan tersebut dilakukan setelah berkoordinasi dengan warga RT 002/RW 007, tempatnya tinggal. Alasannya kata Alip, selain menimbulkan kebisingan, limbah kotorannya juga dianggap dapat mencemari lingkungan sekitar. Apalagi saat ini Indonesia, bahkan dunia sedang disibukkan dengan adanya penyakit flu burung yang belum ditemukan obatnya.

“Selama ini kami memanfaatkan air hujan untuk dikonsumsi. Takutnya dengan adanya limbah tersebut, maka akan mencemari minuman yang kami pergunakan untuk makan dan minum,” terang Alip, Sabtu (23/2).

Lagi pula menurutnya, pengusaha yang berencana membangun penangkaran walet di lokasi itu orang tempatan. “Selama ini pengusaha juga tidak pernah minta izin dan mengkomunikasikan hal ini kepada warga sekitar sini lagi,” lanjutnya.

Lain halnya dengan pernyataan Marsudi, 45, warga Gang Hidayah I ini mengatakan, bahwa semula memang masyarakat komplain dengan rencana pendirian sarang burung walet di daerah mereka. “Itu karena pada waktu itu tangan kanan pengusaha itu kurang pandai mengkomunikasikan hal ini dengan warga,” terangnya.

Namun setelah diganti, lanjutnya, masyarakat sebagian besar akhirnya menerima dan menyetujui rencana pembangunan tersebut karena pengganti pengusaha yang bernama Aman ternyata bisa meyakinkan masyarakat kalau usaha ini akan berdampak positif bagi mereka. “Asalkan sebagian besar pekerja diprioritaskan kepada orang dalam gang, kami sih tidak masalah” kata Marsudi.

Selain itu, pihak pengusaha juga diharapkan bisa memerhatikan lingkungan sekitarnya. Apalagi kalau usahanya tersebut telah berkembang. Minimal, jelas Marsudi, jalan di setiap gang diperbaiki dan juga dilebarkan. “Kalau ini benar maka hal ini akan berdampak positif,” ujarnya. (lil)

Pasar Puring

Lima Investor Lirik Pasar Puring
*Masih Tahap Pembicaraan

Pontianak, Equator

Rencana pemerintah merenovasi Kompleks Pasar Puring menggunakan dana APBD 2007-2008, akan melibatkan pihak ketiga. Saat ini kesepakatan masih dalam tahapa pembicaraan antara Pemkot Pontianak dan investor.

“Pihak ketiga adalah investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Untuk dana yang dianggarkan pemkot hanya Rp 336.548.700. Dana tersebut akan digunakan untuk tahap perencanaan,” kata anggota DPRD Kota Pontianak, Muhammad FAuzie Kholillulah, SSos, saat melihat langsung lokasi Pasar Puring, belum lama ini.

Dana sebesar itu (Rp 300 juta, Red) menurutnya paling-paling hanya bisa dipergunakan untuk memperbaiki bagian atas pasar. Karena jika direnovasi total, dana yang akan dikeluarkan akan sangat besar.

Ia belum bisa memastikan kapan investor tersebut merealisasikan niatnya. “Mungkin masih dalam tahap pembicaraan antara pemkot dengan pihak investor,” terang politisi muda yang tergabung dalam Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Berdasarkan informasi yang diketahuinya, hingga kini ada lima investor yang melirik Pasar Puring. “Namun persoalan ini masih harus dibicarakan lebih lanjut. Karena bagaimana pun pemerintah jangan sampai gegabah. Karena kita khawatir ini justru merugikan pedagang sendiri,” kata legislator dari daerah pemilihan (dapil) Kecamatan Pontianak Utara ini.

Namun ia menyarankan, penataan Pasar Puring yang melibatkan pihak ketiga semestinya ditenderkan kepada para investor. Dengan catatan, Pemkot Pontianak memberikan batasan yang cukup berpihak kepada pedagang.

“Jika kios-kios dalam penataan Pasar Puring telah berdiri, saya berharap investor tidak memberatkan para pedagang. Terutama dalam masalah pembiayaan. Setidaknya setiap kios yang didirikan dapat diangsur dengan cicilan yang ringan oleh pedagang,” pinta Fauzie yang tidak menyetujui jika adanya investor pedagang diberatkan.

Fauzie mengungkapkan, akhir-akhir ini pedagang mulai meragukan janji-janji pemerintah. “Maka tak heran jika pedagang meminta agar rencana ini tidak sekadar wacana,” ujarnya.

Sebaliknya, ia meminta pedagang bersabar. “Insya Allah berkat kesabaran pedagang dan perjuangan kami renovasi Pasar Puring meski tidak memuaskan akan secepatnya kita proses,” katanya dan berharap keseriusan pemerintah dengan melibatkan pihak ketiga, pasar itu terealisasi pada tahun ini. “Paling tidak sebelum Pak Wali lengser dari jabatannya,” ujarnya. (lil)

Kamis, 07 Februari 2008

Perumnas IV, Antara Kota dan Kabupaten (7)

Cari Titik Temu, Buka Kembali Dokumen Lama

Pada masa kepemimpinan Gubernur Parjoko, telah ada instruksi penyerahan kembali wilayah. Tak dipastikan, apakah instruksi itu dilaksanakan atau sebaliknya.


Dalam penantian yang belum berujung, kejelasan status wilayah Perum IV sebetulnya dapat diselesaikan asalkan ada keinginan dari Pemprov Kalbar, Pemkab Pontianak dan Pemkot Pontianak. Sejarah batas geografis kewilayahan harus dibuka kembali untuk mencari titik temu.

Awal mula polemik Perum IV ini terungkap ketika Perusahaan Umum (Perum) Perumahan Nasional (Perumnas) akan membangun perumahan di wilayah yang sekarang menjadi Perum IV. “Saat itu ada ketidakjelasan mengenai batas daerah tempat akan dibangunnya Perumnas IV tersebut,” ujar Zainuddin H Abdulkadir SH, Koordinator Wilayah (Korwil) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kalbar, Jumat (25/1)
Pihak Perum Perumnas kemudian mengeluarkan surat Nomor: Cab.II/U. Ptk/1079/90 tanggal 16 Oktober 1990, tentang mohon penjelasan batas wilayah Kota Madya Pontianak. Pada waktu itu dijawab Asisten I Bidang Pemerintahan, Perekonomian dan Pembangunan, Bahtiar MS SH atas nama Wali Kota Madya Kepala Daerah (KDH) Tingkat (TK) II Pontianak, Sekretaris Kota Madya/Daerah yang mengeluarkan surat Nomor.135/1512/P.P.A.

Surat perihal penjelasan batas wilayah Kota Madya Pontianak itu menjelaskan batas wilayah yang tertera dalam Peta Tata Guna Bangunan dari Bappeda Kota Madya Daerah Tingkat (Dati) II Pontianak adalah sesuai materi surat Nomor 136/1885/Pem.A tanggal 21 November 1989, tentang pengembalian wilayah Kabupaten Dati II Pontianak.
Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur KDH TK I Kalbar mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 03/SK/XIV-64 tanggal 11 Agustus 1964 yang mencabut Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak Nomor 24/I/1946/P.K tanggal 14 Agustus 946 tentang Landschape emeente Pontianak dan Perubahan Batas Wilayah Kota Praja Pontianak.
Berbekal dasar surat awal tersebut bisa dilihat surat dari Wali Kota Madya KDH TK II Pontianak Nomor:136/1885/Pem.A tanggal 21 November 1989 yang pada waktu itu dijabat oleh HA Madjid Hasan, perihal Pengembalian Wilayah Kabupaten Dati II Pontianak yang ditujukan kepada Bupati KDH TK II Pontianak.
“Di dalam surat tersebut, pihak Wali Kota KDH TK II mengacu kepada Surat Gubernur KDH TK I Kalbar Nomor: 650/1918/Pem-B tanggal 2 April 1988, perihal batas Administrasi antara Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak telah ditentukan,” kata Zainuddin.
Menurutnya, batas administratif tersebut meliput wilayah di antara Sungai Malaya “cabang kiri” dengan Sungai Malaya “cabang kanan” terletak di Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Dati II Pontianak yang berbatasan dengan Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Madya Dati II Pontianak. Lokasi berpenduduk 270 kepala keluarga (KK) atau sama dengan 1.445 jiwa saat itu yang dibina oleh Kota Madya Dati II
Pontianak, supaya dikembalikan kepada Kabupaten Pontianak.

Sedangkan, wilayah di antara batas Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak sampai dengan aliran Sungai Ambawang (yang terletak di Desa Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Dati II Pontianak yang berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Hulu, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Madya Dati II Pontianak) yang awalnya dibina oleh Kota Madya Dati II Pontianak, supaya dikembalikan kepada Kabupaten Dati II Pontianak.

Berkenaan penentuan batas daerah tersebut, Gubernur KDH TK I Kalbar yang pada waktu itu dijabat Parjoko S telah memberi batasan waktu selambat-lambatnya 31 Mei 1998 agar Wali Kota Madya KDH TK II Pontianak menyerahkan kembali wilayah tersebut kepada Bupati KDH TK II Pontianak. “Saya tidak tahu apakah penyerahan yang dimaksud surat tersebut telah terlaksana atau belum,” kata Zainuddin yang memaparkan beberapa dokumen berupa surat menyurat.

Menurut dia, jika surat dari Gubernur KDH TK I Kalbar Nomor:650/1918/Pem-B tanggal 2 April 1988, perihal batas administrasi antara Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak tersebut telah dilaksanakan, maka polemik batas wilayah saat ini tak terjadi. (lil/habis)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (6)

Dua Opsi Ditawarkan, Telah Selesai Dibahas BPN

Opsi ditawarkan, aspirasi masyarakat perlu diakomodasi. Pemprov perlu memfasilitasi.

Masyarakat sudah mulai jenuh karena lambatnya respons pemerintah dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah pemerintahan. Polemik telah berlangsung delapan tahun tetapi status Perum IV masih belum jelas.

Sejak Kabupaten Pontianak belum dimekarkan menjadi Kabupaten Kubur Raya, polemik ini telah terjadi. Saat yang tepat jika Kubu Raya yang baru terbentuk menyelesaikannya bersama-sama Pemkot Pontianak. Langkah ini diperlukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat.

Akibat yang jelas tampak tentu saja soal administrasi kependudukan dan sertifikasi tanah. Dampak negatif akan bertambah kalau sudah memasuki Pilkada Kubu Raya dan Pilwako Pontianak. Hak memilih sekitar dua ribuan warga Perum IV itu akan diakomodasi kemana.

Sebetulnya telah ada opsi untuk mencari titik temu dan penyelesaian. Opsi pertama adalah mempertimbangkan batas wilayah Kecamatan Sungai Ambawang. Opsi kedua, menata kembali kawasan tersebut dengan menyerap aspirasi masyarakat. Opsi kedua ini disampaikan Bachtiar, Kabag Bina Kap Pemhan Setda Provinsi Kalbar dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Provinsi Kalbar, 31 Oktober 2007 lalu.
Secara gamblang Bachtiar menyebutkan selama ini di tingkat masyarakat terkesan adanya pemaksaan kehendak agar Perum IV bergabung ke Pemkot Pontianak. Padahal wilayah tersebut diakui terbentur Undang-Undang Pembentukan Daerah-Daerah di Provinsi Kalbar, salah satunya Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Pontianak yang menjadikan kawasan tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

“Jika keinginan bergabung dengan Kota Pontianak karena kedekatan pelayanan, semestinya menjadi lebih baik jika Perum IV bergabung dengan Kabupaten Kubu Raya,” kata Bachtiar.
Namun jika polemik semakin berkepanjangan, pemerintah tetap akan mengambil solusi dengan menawarkan dua alternatif. Pertama yakni mempelajari batas Kecamatan Sungai Ambawang yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kubu Raya. Di sisi lain, Perum IV juga dikelilingi Kelurahan Parit Mayor dan Kelurahan Tanjung Hulu yang masuk wilayah Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Kedua yakni, tetap mengakomodir keinginan masyarakat di kawasan seluas 24 hektar tersebut. Namun konsekwensinya, ketika keinginan itu dipenuhi, maka diyakini Bachtiar akan bermunculan persoalan-persoalan yang sama, rentetan dari persoalan serupa..
“Kita akan mengupayakan pertemuan antara Pemerintah Provinsi (Kalbar), Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, dan Pemerintah Kota Pontianak dan mudah-mudahan polemik ini terpecahkan. Kedua alternatif tersebut telah selesai dibahas bersama BPN (Badan Pentahanan Nasional) Provinsi Kalbar,” ujarnya. (lil/bersambung)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (5)

Win-win Solution, Kembalikan pada Aturan

Apapun keputusan pemerintah tentang status wilayah Perum IV, tidak merugikan berbagai pihak. Jalan terbaik, kembalikan lewat aturan.

Keputusan bijak soal batas wilayah Perumnas IV, apakah masuk Kota Pontianak atau Kabupaten Kubu Raya, ditunggu banyak orang. Terutama warga yang bermukim di kawasan itu. Jangan sampai keputusan yang dihasilkan merugikan masyarakat yang menginginkan Perum IV di wilayah Kota Pontianak, dan sebaliknya.

Pangkal persoalan batas wilayah itu sebenarnya, kata anggota DPRD Kalbar Zainuddin Isman, terletak di SK Gubernur No 03/SK/XIV, 11 Agustus 1964 tentang batas wilayah Kota Pontianak dengan Kabupaten Pontianak. Dalam SK itu banyak menyebut nama-nama parit sebagai pembatas wilayah kedua pemerintahan.

Namun bakal tidak mudah berpedoman pada batas parit tersebut. Soalnya, kondisi parit yang ada saat ini banyak yang sudah tidak jelas. Bahkan pada saat dirinya ke lapangan, dari 10 orang yang ditanya mengenai batas parit, masing-masing punya jawaban sendiri.

“Pangkal permasalahan lainnya karena dulu Perumnas menerbitkan sertifikat induk ke BPN Kabupaten Pontianak,” kata Bang Zis, sapaan akrabnya. Dia menyarankan agar langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut yakni, pemerintah dalam hal ini gubernur untuk memfasilitasi pertemuan antara penjabat Bupati KKR, DPRD KKR, bersama Wali Kota Pontianak dan parlemennya untuk duduk satu meja.
Dalam pertemuan tersebut gubernur nantinya mesti mempertegas SK Tahun 1964. “Nah, setelah ditegaskan mana batasnya, perlu ada perundingan kembali apakah itu masuk Pontianak atau Kabupaten Kubu Raya dengan proses kedua belah pihak,” sarannya.

Berbekal dari pertemuan tersebutlah gubernur kemudian meneruskan ke pemerintah pusat yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri.

“Jangan sampai gara-gara ada desakan dari masyarakat terus pemerintah buru-buru menetapkan status batas Perum IV, tanpa mengacu kepada aturan yang ada. Itu biasanya akan menimbulkan masalah,” jelasnya.

Komentar serupa dikatakan Aceng Mukarram, menurutnya, sebenarnya masyarakat sudah bosan hidup dalam situasi yang tak jelas seperti ini. Kendati demikian, ia menyarankan agar desakan masyarakat ditanggapi sebagai saran dan kritik atas kinerja pemerintah yang selama ini dinilai lamban.

“Pada dasarnya kami sudah lama mendambakan jelasnya status wilayah. Akan tetapi kami tidak ingin jika nanti ada keputusan mengenai batas wilayah timbul persoalan baru yang berujung pada konflik massal atas ketidakpuasan,” kata Aceng.

Karenanya dalam menentukan status batas Perum IV tersebut pemerintah lebih bersikap arif dalam menyikapi persoalan tersebut. “Kembalikan semua kepada aturan yang sebenarnya,” sarannya lagi. (lil – bersambung)