Rabu, 12 November 2008

*Pasca Eksekusi Trio Bomber Bali

NU Sesalkan Klaim Tak Mati Syahid

Pontianak, Equator
Trio bomber Bali I Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra telah dieksekusi. Syahid atau tidaknya, masuk ranah ilahiah dan tak seorang pun yang bisa memberikan predikat itu. Merelakan kematian dan mendoakan mereka adalah jauh lebih baik.
Ketua NU Kota Pontianak, Nuralam SAg dimintai komentarnya kemarin mengatakan, pasca eksekusi mati Amrozi Cs pihaknya menyerukan seluruh umat muslim khususnya kalangan Nahdliyin untuk sama-sama mendoakan kepergiannya. “Ini konteks sebagai seorang muslim yang punya kewajiban untuk sama-sama mendoakan muslim lainnya,” terangnya.
Nuralam menyesalkan beberapa pendapat dan komentar beberapa ormas yang mengklaim kematian Amrozi Cs tidak syahid. “Sudahlah, kita tidak usah membicarakan syahid atau tidaknya, siapa yang tahu Amrozi Cs mati dalam kondisi syuhada atau tidak? Hal itu sebenarnya sudah masuk kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala,” jelasnya
Nuralam meminta kepada seluruh umat Islam agar bijak dan proporsional menyikapi eksekusi Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. “Karena hukuman mati itu sudah menjadi keputusan hukum, sebaiknya kita hormati keputusan itu. Tidak perlu demonstratif menyikapi eksekusi itu,” katanya.
Menurutnya, tindakan Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra serta pelaku terorisme lain yang mengatasnamakan agama tidak bisa dianggap menjalankan ajaran agama sehingga begitu mudah mengklaim mati sebagai syuhada atau mujahid. “Manusia, seharusnya melihat kasus Amrozi dan kawan-kawan dari perspektif empiris sehingga kalau pengadilan sudah menyatakan bersalah dan pelakunya mengakui tindakannya, putusan pengadilan harus dihormati,” paparnya.
Persoalan seseorang mati sebagai syuhada atau tidak adalah bukan urusan manusia, tetapi milik Allah SWT. “Orang layak dihukum mati jika yang bersangkutan membunuh manusia lain dan berbuat kerusakan. Aapa yang telah dilakukan Amrozi dan kawan-kawan justru telah menyebabkan kematian banyak orang,” kata Nuralam berpendapat.
Nuralam meminta seluruh warga NU untuk lebih dewasa menyikapi hal ini dengan tidak mudah terprovokasi oleh ajakan serta manipulasi jargon-jargon keagamaan untuk kepentingan tertentu. “Semua warga NU harap tenang, tetap waspada dan tidak terpancing kepentingan-kepentingan tertentu,” katanya. Dia menilai, upaya yang dilakukan negara adalah langkah terbaik demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

FPI tolak
Dihubungi terpisah, Koordinator Jihad dan Bela Negara Front Pembela Islam Kalbar, Alfi Herlambang kepada sejumlah wartawan di kediamannya mengatakan dengan tegas, menolak eksekusi terhadap Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra walaupun ketiganya sudah dieksekusi.
Beberapa alasan FPI itu di antaranya adalah hasil proses PK Amrozi Cc di MA sejak awal hingga saat ini tak pernah diberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukumnya. “Proses hukum itu belum selesai sehingga pemerintah belum boleh melakukan hal itu, namun ternyata telah dieksekusi,” katanya.
Alasan lain, kata Alfi, hasil kerja tim investigasi Bom Bali yang pernah diben tuk MUI dan dipimpin almarhum ZA Maulani menyatakan dalam serpihan puing terdapat bahan jenis C4 yang berdaya ledak tinggi. Bahan ini banyak di produksi AS dan tidak ada di Indonesia.
“Berdasarkan pengakuan dan kesaksian Amrozi dan kawan-kawan di pengadilan hanya menggunakan bahan TNT yang berdaya ledak rendah. Nyata kalau kasus bom bali belum tuntas, apalagi tiga orang yang telah dijatuhi hukuman mati itu bukan hanya terpidana tapi juga saksi. Sehingga eksekusi telah melenyapkan saksi dan bukti untuk mengungkap siapa pelaku peledakan sebenarnya,” ujar dia.
Ia juga mengatakan eksekusi mati terhadap Amrozi Cc merupakan tindakan diskriminasi hukum karena masih banyak napi vonis mati yang belum dieksekusi. Belum lagi soal pemerintah sekarang di bawah SBY yang sepertinya menjadikan eksekusi ini sebagai komoditas politik. “Pelaksanaan eksekusi itu adalah zalim karena tidak murni proses hukum sekaligus telah melanggar HAM,” pungkasnya. (lil)

Kamis, 23 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 6)

Menjadikan TNGP Sebagai Ikon Daerah

Selain akses yang sulit untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), sarana dan prasarana di area penelitian ini masih rusak parah. Tugas pemerintah daerah untuk memperbaikinya. Tahap awal, perbaikan dapat diprioritaskan pada bangunan-bangunan seperti tempat kerja peneliti (camp besar) tempat tinggal peneliti, tempat tinggal petugas dan karyawan. Sementara untuk fungsi beberapa bangunan sebaiknya diubah sesuai kebutuhan.
Sarana dan prasarana di stasiun riset Cabang Panti yang ada pada saat ini hanya pondok sederhana untuk tempat tinggal peneliti. Untuk mempercepat proses operasionalisasi di stasiun penelitian ini, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP memberikan beberapa kegiatan skala prioritas.
Tahap awal, peneliti harus tinggal bersama dengan pembantu peneliti dalam satu bangunan. Ukurannya 4,5 x 12 meter dengan jumlah kamar 4 buah masing-masing berukuran 3x3 meter.
Tahap kedua memperbaiki bangunan yang menjadi tempat kerja peneliti terdiri dari ruang kerja bangunan, tempat tinggal peneliti dan pembantu peneliti. Yang ketiga yakni pembangunan ruang bambu. Barulah masuk kepada pembersihan jalur sungai menuju lokasi. Perbaikan jalur sungai dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalur dari semak belukar, pohon dan berbagai rintangan yang menghalangi.
Ditanya mengenai keinginan dan harapan dari pengelola TNGP, Bupati Kayong Utara Hildy Hamid BE merencanakan perbaikan tersebut. Meski hingga sampai saat ini Pemda belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP. Namun pihaknya berencana menjadikan TNGP sebagai ikon daerah yang benar-benar dikenal dunia luar. “Saat ini yang perlu kami lakukan yakni menghilangkan citra negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan TNGP,” ujar Hildy.
Selain akses keluar masuk yang akan disulap, pihaknya juga berencana membangun camp untuk para peneliti lokal maupun asing. Para peneliti tidak perlu masuk ke lokasi TNGP dengan susah payah. “Insyaallah dalam waktu dekat Pemda sudah bisa memperbaiki akses keluar masuk lokasi TNGP dengan sedikit memperbaiki akses sarana menuju lokasi,” ungkapnya.
Camp itu akan didesain sederhana untuk memberikan pelayanan yang standar kepada para peneliti. “Tapi kita akan membatasi masyarakat umum keluar masuk lokasi, demi menjaga keasrian lingkungan TNGP,” katanya.
Hasil penelitian, kata Hildy selain menjadi arsip pribadi peneliti, juga akan menjadi referensi pemerintah daerah setempat. “Selain itu peneliti juga wajib menyimpan hasil penelitian di camp di mana peneliti tinggal,” ungkapnya. (Kholil Yahya – Habis)

Minggu, 19 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 5)

Jarak Tempuh Lokasi dan Keindahan Gunung Palung

Lokasi penelitian Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) sebenarnya dipusatkan di lembah antara Gunung Palung dan Gunung Panti. Namun lokasi penelitian lebih dikenal dengan sebutan cabang panti dengan luas areal sekitar 1.500 hektar yang mencakup empat tipe vegetasi.
Sebagian besar masih berupa hujan primer yakni hujan rawa gambut, ekosistem alluvial, hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.
Stasiun riset cabang panti dapat dicapai melalui dua jalur yakni melalui sungai rantau panjang menggunakan long boat. Jalur ini sering menjadi pilihan pada musim hujan karena permukaan sungai cukup tinggi untuk di lalui long boat.
Biasanya, para penelitian untuk sampai di cabang panti melalui jalur sungai dari Dusun Semenjak atau Gunung Lalang (Desa Harapan Mulia). Jarak tempuhnya dari Dusun Semanjak ke stasiun penelitian cabang panti 24,6 kilometer. Sedangkan jarak dari Gunung Lalang ke stasiun riset cabang panti 35 kilometer. Perjalanan dari dua tempat ke stasiun cabang panti di tempuh dalam waktu sekitar 5 hingga 6 jam.
Jalur kedua untuk sampai di stasiun resit cabang panti adalah melalui Dusun Tanjung Gunung dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 16 kilometer yang dapat ditempuh 6 jam hingga 7 jam. Jalur ini dapat dilalui pada musim kering maupun penghujan. Saat ini untuk jalur sungai kondisinya sangat sulit dilalui. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pohon, semak dan sampah di sepanjang sungai mulai dari Sungai Sebarat hingga ke Sungai Air Putih menuju stasiun riset cabang.
Demikian juga kondisi jalur darat dari dusun Tanjung Gunung cukup sulit untuk di lalui, terutama dari jalan setapak Dusun Tanjung Gunung. Hal ini disebabkan tertutupnya jalan oleh semak belukar. Selain itu jalan di samping jalur irigasi perairan (parit) sebagian besar tanahnya tergerus air sehingga sangat susah untuk dilewati.
Sedangkan dari Sungai Rangkong dan ke Sungai Bayas sebagian besar jalurnya sulit untuk di lalui. “Beberapa tanda jalur sudah rusak dan tidak dapat dikenali lagi,” kata Surya salah seorang driver (seorang pembawa long boat, sebutan masyarakat KKU).
Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP, Hendra Gunawan SP mengatakan kondisi jalur menuju stasiun penelitian cabang panti cukup sulit dilalui. Berbagai upaya sudah dilakukan. Perbaikan jalur pernah dilakukan dengan cara pembersihan jalur dari semak belukar pohon dan berbagai rintangan lain yang menghalangi jalur sungai. “Selain itu, kami juga memperbaiki tanda pengenal jalur seperti pita dan tanda pengenal lainnya,” ungkap Hendra yang sudah mengabdikan diri sejak tahun 2003 silam.
Mengingat kondisi jalur darat khususnya dari Tanjung Gunung sampai lokasi penelitian kondisinya rusak cukup parah dan melewati areal terbuka yang sangat panas, maka sebaiknya dibuat jalur baru dengan membuat jalan tembus (rintis) baru Tanjung Gunung sampai ke lokasi penelitian, melalui areal hutan depan kampung.
Alternatif lain jalan sungai dapat dilalui dari Sungai Sebarat. Jalur ini melalui jalan darat terlebih dahulu yang melewati Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir dan Transmigrasi Rantau Panjang. Jarak dari Jalan Provinsi ke Sungai Sebarat 10 kilometr dengan kondisi jalan cukup bagus (sedang dalam perbaikan) sehingga dapat dilalui sepeda motor.
Sedangkan jarak dari Sungai Sebarat hingga ke stasiun riset cabang panti 12, 56 kilometr yang dapat ditempuh dalam waktu dua hingga tiga jam menggunakan long boat. (Kholil Yahya – Bersambung)

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 4)

Menepis Isu Negatif, Tumbuhkan Daya Pikat

Untuk menepis isu negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) butuh kerja keras dari semua pihak. Tekad kuat yang dimiliki Bupati Kayong Utara, Hildy Hamid BE untuk menjadikan TNGP sebagai lokasi penelitian dan pariwisata.

Berbagai program akan dirancang Pemerintah Kabupaten Kayong Utara (KKU) guna menjaga keasrian dan keindahan TNGP. Menjaga keamanan dan kenyamanan TNGP tak hanya menjadi tanggung jawab Badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung, akan tetapi itu merupakan tanggung jawab dan komitmen Pemkab Kayong Utara.

Menurut Hildy, ikon KKU ada dua yakni Gunung Palung dan Pulau Maya Karimata. Meski belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP, pihaknya berencana akan menjadikan TNGP menjadi lokasi yang benar-benar dikenal dunia luar.

Lokasi TNGP menurut Jonathan R Sweeney mahasiswa yang meneliti dari University Of California at Davis mengatakan, kalau TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi. Berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut ada di lokasi TNGP.

Dari beberapa penelitian menyebutkan kalau TNGP merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Lebih luas kalau TNGP terdiri atas daerah datar yang berawa dan daerah berbukit serta bergunung dengan puncak ketinggian terdapat di Gunung Palung. Berdasarkan penelitian itu, TNGP mempunyai iklim tropis dengan rata-rata curah hujan 3.000 mm per tahun dan suhu udara berkisar antara 25,5° - 35° C.

Untuk jenis faunanya, kata John sapaan akrab Jonathan R Sweeney, yang ada di TNGP antara lain kijang, babi hutan, ayam hutan, bekantan, orangutan atau si Pongo, lampiau dan lain-lain.

Keanekaragaman yang dimiliki TNGP, kata John, menjadi daya pikat bagi peneliti dunia untuk menjadikan gunung itu sebagai lokasi penelitian. Kekayaan hayati yang dimiliki TNGP tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah daerah, tapi hal tersebut juga menjadi tanggung jawab peneliti.

“Jika ingin menemukan apa yang akan diteliti, peneliti berkewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan Gunung Palung,” ucap John yang sudah sedikit fasih menggunakan bahasa Indonesia.

Sementara untuk menjaga habitat dan ragam tumbuhan yang ada di TNGP, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung memiliki cara sendiri. “Kami tidak hanya menjaga kawasan TNGP, tapi juga menjaga berbagai flora dan fauna dari peneliti,” jelas Hendra Gunawan SP salah seorang petugas Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung. Penelitian yang dipusatkan di Cabang Panti tersebut pernah memberikan sanksi kepada seorang peneliti yang hendak membawa sampel penelitian dari TNGP.

“Peneliti itu pernah tertangkap tangan sedang membawa sampel penelitian. Setelah berkoordinasi akhirnya kita memberikan sanksi dan memulangkan peneliti tersebut. Selain itu, kami juga menolak yang bersangkutan untuk melakukan penelitian di lain kesempatan,” ucap Hendra. (Kholil Yahya – Besambung)

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 3)

Perlu Kerja Keras dan Komitmen Bersama

Untuk membangun potensi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) sebagai kawasan penelitian dan kawasan wisata perlu kerja keras dan komitmen bersama. Tak hanya menjaga keasrian flora dan fauna dari tangan-tangan jahil, tapi Pemda berkewajiban untuk menghilangkan citra negatif mengenai Gunung Palung yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Upaya untuk menghilangkan citra negatif itu telah dilakukan Pemerintah Kayong Utara. Bersama unsur Muspida, Bupati KKU, Hildy Hamid BE berhasil menembus daerah tersulit di TNGP. Lokasi TNGP sendiri sebenarnya bisa di tempuh dari dua jalur, yakni air dan darat. Untuk menempuh jalur air membutuhkan waktu lima hingga enam jam. Sementara untuk darat hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Diperkirakan satu hari satu malam baru sampai ke lokasi.

Menurut badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung, Hendra Gunawan SP, terhitung sejak 1985 TNGP merupakan lokasi penelitian. Pada tahun tersebut seorang peneliti berkebangsaan Amerika masuk ke lokasi TNGP. Berbekal kerja sama dari LIPI, warga Amerika bernama Dr Mark Leighton masuk dan melakukan penelitian di lokasi tersebut. Entah apa yang diperbuat di sana. Aktivitasnya berlanjut hingga pada tahun 2001.

“Karena tidak jelas tujuan dari peneliti itu serta tidak transparan, maka izin nelitiannya dicabut,” cerita Hendra.

Tak hanya badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP yang ingin mengembangkan lokasi itu. Komitmen serupa juga dikatakan Hildy Hamid. Menurutnya, pihaknya saat ini meski belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP, akan menjadikan TNGP menjadi ikon yang benar-benar dikenal dunia luar. “Saat ini yang perlu kami lakukan yakni menghilangkan citra negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan TNGP,” ujar Hildy.

Selain akses keluar masuk yang akan disulap, pihaknya juga berencana akan membangun camp untuk para peneliti baik lokal maupun asing. Para peneliti tidak perlu masuk ke lokasi TNGP dengan susah payah. “Insya Allah dalam waktu dekat Pemda sudah bisa memperbaiki akses keluar masuk lokasi TNGP dengan sedikit memperbaiki akses sarana keluar masuk lokasi,” ungkapnya.

Camp itu akan di desain dengan sangat sederhana dengan memberikan pelayanan yang standar kepada para peneliti. “Tapi kita akan membatasi masyarakat umum untuk keluar masuk lokasi, demi menjaga keasrian lingkungan TNGP,” katanya.

Hasil penelitian tersebut selain menjadi arsip pribadi peneliti, juga akan menjadi referensi pemerintah daerah setempat. “Selain itu peneliti juga wajib menyimpan hasil penelitian di camp di mana peneliti tinggal,” ungkapnya.

Kendati Pemda tidak bisa menjadikan TNGP sebagai salah satu sumber PAD, namun Hildy bertekad untuk tetap melestarikan lingkungan TNGP dari sergapan tangan-tangan jahil pembalak. Akses keluar masuk yang semakin baik akan mengancam sumber kekayaan alam yang ada di TNGP.

“Bagi masyarakat yang hendak tahu lokasi cukup sampai camp peneliti. Biar peneliti yang memberikan penjelasan dan bagi masyarakat yang ingin tahu lebih banyak bisa mempelajari hasil-hasil penelitian,” jelas Hildy. Selain untuk tempat tinggal para peneliti, camp itu juga akan difungsikan sebagai sarana belajar bagi masyarakat dan para pelajar yang selalu ingin tahu mengenai ekologi dan ekosistem yang ada di TNGP. (Kholil Yahya – Bersambung)

Kamis, 16 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 2)

Peneliti Larang Masuk, Dirjen PHPA Cabut Izin

Keberadaan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) tak terlepas dari isu pelarangan masuk ke kawasan tersebut. Ada apa sebenarnya dengan lokasi TNGP? Apa yang dilakukan peneliti, sehingga masyarakat tidak diperbolehkan masuk ke kawasan itu? Benarkah masyarakat dilarang peneliti masuk ke TNGP? Pertanyaan ini kerap muncul yang kemudian menjadi multitafsir di kalangan masyarakat KKU.

Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP, Hendra Gunawan SP menjelaskan, sebenarnya lokasi TNGP yang kemudian dijadikan lokasi penelitian sudah dibuka sejak 1985 seiring datangnya rombongan peneliti asal Amerika yakni, Dr Mark Leighton dari Harvad University.

Kedatangan peneliti itu mengantongi izin Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Dirjen PHPA) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan luas areal penelitian 1500 hektare. Sampai saat ini sudah 32 peneliti asing dan 44 peneliti Indonesia yang melakukan riset di TNGP Cabang Gunung Panti. Objek penelitiannya bermacam-macam mulai dari orang utan, hingga 10 tipe vegetasi yang ada di TNGP.

Untuk penelitian yang dilakukan, Jonathan R Sweeney mahasiswa University Of California at Davis meneliti primata (binatang-binatang utama yang ada di Gunung Palung yakni, orangutan, lempiau dan kelasi) serta meneliti botani (ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan).

Isu pelarangan masuk ke daerah TNGP yang berkembang menjadi opini publik bermula dari ditolaknya sejumlah warga yang masuk ke lokasi TNGP. “Yang saya ketahui memang sebelumnya ada isu menyebutkan ada beberapa orang yang hendak berkunjung ke lokasi TNGP. Namun masyarakat tersebut langsung ditolak untuk masuk ke areal lokasi penelitian,” jelas Heri salah seorang pegawai honorer TNGP.

Fase pelarangan itu berawal dari datangnya seorang peneliti bernama Dr Mark Leighton dari Harvad University. “Dialah orangnya yang pertama kali masuk ke areal TNGP untuk melakukan pada tahun 1985. Dialah biang keroknya yang selama ini tidak memperbolehkan warga sekitar masuk,” tukasnya.

Sejak 1985 hingga 2001 kesan mengenai Gunung Palung yang tidak boleh dimasuki masyarakat memang benar adanya. Kekuasaan Dr Mark Leighton terhadap daerah Gunung Palung memang benar dan nyata. Meskipun tidak ada pernyataan resmi, Mark memang benar-benar telah menguasai daerah Gunung Palung, sehingga warga sekitar yang ingin berkunjung tidak diperbolehkan atau dilarang masuk ke lokasi tersebut.

Tak hanya masyarakat yang tak mendapatkan akses untuk mengunjungi, tetapi juga Badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP juga dikondisikan oleh Mark. Tak ingin Mark semakin menjadi-jadi, melalui surat resminya, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP meminta kepada Dirjen PHKA.

Alhasil pada 2001, Dirjen PHKA mencabut izin penelitian yang dilakukan. “Sejak itulah penelitian dihentikan selama kurang lebih 5 tahun,” jelas Hendra. Sejak pencabutan izin penelitian yang diberikan kepada Mark, TNGP menjadi lengang tanpa kegiatan. “Paling ada peneliti-peneliti lokal, itupun hanya penelitian singkat semacam obeservasi,” tukasnya. (Kholil Yahya/Bersambung)

Rabu, 15 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian 1)

Ajang Penelitian yang Sulit Diakses

Flora dan fauna di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara (KKU) memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan para peneliti asing. Kebanyakan peneliti tersebut berasal dari Amerika untuk melakukan riset.

Lokasi TNGP sulit diakses. Dari Kecamatan Sukadana, Ibu Kota Kabupaten Kayong Utara, jarak tempuhnya diperkirakan 69,1 kilometer. Untuk masuk dan sampai ke TNGP diperlukan waktu lima hingga enam jam dengan menggunakan speedboat. “Jika cuaca dan air sungai tidak surut, bisa ditempuh 5 jam,” kata Surya, salah seorang driver (tukang speedboat, istilah warga Kabupaten Kayong Utara).

Sebelum sampai ke lokasi TNGP, pengunjung akan melewati setidaknya tiga anak sungai yakni Sungai Rantau Panjang, Sungai Sebarat dan Sungai Air Merah.

Sabtu (11/10), Bupati Kabupaten Kayong Utara (KKU) Hildy Hamid BE bersama rombongan mengunjungi lokasi tersebut. Ketika rombongan memasuki Sungai Sebarat, terpaksa berpindah tempat. Awalnya dari daerah Sukadana hingga ke Sungai Rantau Panjang, rombongan menaiki speedboat yang lumayan besar.

Namun, karena kondisi sungai yang semakin sempit membuat rombongan berpindah ke speedboat yang lebih kecil. Kendaraan sedikit terhambat karena mesin sering akibat sudah terlalu tua.

Surya yang sudah lama bekerja sebagai driver mengatakan, selama ini tidak ada satupun pejabat yang mau berkunjung ke daerah TNGP. Baik itu dari pihak Pemkab Ketapang sebelum akhirnya dimekarkan menjadi KKU, maupun Pemprov Kalbar.

“Hanya waktu zaman almarhum Bupati Ketapang Sunardi yang pernah ke lokasi. Itupun diperkirakan sekitar 10 tahun yang lalu. Untuk pejabat yang lain itu belum pernah,” tukasnya sambil matanya terus melihat rute air yang dilalui.

Sampah dan kayu terlihat bergelimpangan di sepanjang sungai membuat perjalanan rombongan sedikit terganggu. Kendati hambatan itu pada akhirnya bisa ditangani namun perbaikan akses masuk sangat dinantikan.

Rombongan Muspida yang turun dan berkunjung langsung ke TNGP adaah Bupati KKU Hildy Hamid BE, Laisson Officer (LO) Polres Kayong Utara, Kompol H Sriyono SH MH, Kadis Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Ir Bimbing Parjoko, Kadis PU dan Pertambangan Edi Binsar Hatuaon Matondang ST MM, Kabid Pariwisata Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informatika Sunaryadi, Kabid Perencanaan Wilayah Bappeda KKU Ahmad Husni ST MT, Camat Simpang Hilir Drs Agus Suatman, LO Kodim Kayong Utara Kapten Suparman.

Setelah menempuh kurang lebih 6 jam akhirnya rombongan sampai di daerah TNGP. Karena sungai semakin dangkal dan tidak bisa dilalui, rombongan pun akhirnya turun dan berjalan kaki sekitar 1 jam menyusuri hutan. Setelah sampai di camp penginapan di sana, rombongan bertemu salah seorang peneliti kewarganegaraan Amerika Serikat bernama Jonathan R Sweeney.

Di TNGP itu, John—sapaan akrab Jonathan R Sweeney—sedang melakukan penelitian mengenai orang utan, monyet dan lempiau. Ia mendapat tugas dari University of California at Davis. John sudah tiga minggu berada di TNGP melakukan penelitian. Rencananya, pria berambut pirang ini akan menetap selama setahun guna penelitian. Dibantu beberapa asisten khusus yang mendampingi selama penelitian, dia sudah banyak melakukan penelitian mengenai binatang yang ada di lokasi. (Kholil Yahya/bersambung).

Senin, 13 Oktober 2008

Vaksin BCG Pembawa Petaka

Temuan terbaru, empat anak jadi korban setelah diberi vaksin BCG. Apa yang salah, vaksinya atau layanan medis?.


Hingga September 2008, Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar mencatat 10 kasus anak mengalami cacat fisik permanen disusul gizi buruk dan lumpuh layu. Kondisi tersebut setelah bayi mendapatkan vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG).

“Ini aneh, seharusnya imunisasi bertujuan untuk menyehatkan anak-anak dan memberi kekebalan kepada anak dari segala penyakit. Tampaknya harus dikaji ulang apakah vaksinnya yang bermasalah atau standar pelayanan para medis yang harus diperbaiki,” ujar Direktur YNDN Kalbar, Devie Tiomana ST kepada Equator, Jumat (12/9).

Sepuluh anak itu antara lain Temu, M Rizki, Trimo Urip, Yau Sing, Fitri Octaviani, Ramadan, Adi, Andi Fitriandi dan dua lainnya Maulana dan Rizki telah meninggal dunia.

Peristiwa ini, kata Devie akan berdampak traumatis kepada ibu-ibu yang memiliki anak usia balita. “Ibu akan enggan melaksanakan vaksinasi, sebab ada ketakutan mengalami seperti beberapa kasus tersebut,” ujarnya.

Devie meminta kepada Dinas Kesehatan untuk bertanggung jawab terhadap persoalan ini. “Dinas kesehatan harus melakukan upaya preventif sebelum terjadi yang lebih besar lagi. Kami saat ini sedang memperjuangkan jaminan sosial hidup anak-anak yang mengalami cacat permanen. Mudah-mudahan saja tahun ini sudah bisa direalisasikan,” ungkapnya.

Temuan terbaru di Kelurahan Siantan Tengah, Pontianak Utara terdapat empat korban mengalami kondisi mengenaskan setelah divaksin BCG. Zulaiha, ibu dari Fitri, salah seorang korban menjelaskan anaknya cacat dan terserang gizi buruk sejak usia 40 hari. “Penyebabnya saya tidak tahu persis. Yang jelas waktu itu Fitri diimunisasi di Puskesmas Siantan Tengah, Pontianak Utara dan disuntik BCG. Usai disuntik mengalami panas yang diikuti kejang,” tutur Zulaiha kepada Equator, kemarin.

Bingung melihat kondisi anaknya itu, Zulaiha membawa Fitri ke Puskesmas untuk meminta pertanggungjawaban. Bukannya memberikan solusi, pihak Puskesmas malah memberikan selembar kertas rujukan ke rumah sakit dr Soedarso.

“Di Soedarso hanya dirawat beberapa hari karena tidak ada perkembangan, selanjutnya kami bersama keluarga memindahkan ke RSSA Antonius hingga beberapa hari,” jelasnya.

Di RSSA Antonius, Fitri sempat tidak sadarkan diri hingga beberapa hari. Kepala Fitri membesar dan dia tidak sadarkan diri. Kondisi Zulaiha saat ini hanya bisa terbaring lemas di kediamannya di Jalan Selat Sumba, Pontianak Utara. Fitri sampai sekarang masih tetap mengonsumsi obat saraf.

“Kalau dia tidak minum obat saraf, dia akan berteriak-teriak dan akan menyusahkan kami sekeluarga,” ungkap Zulaiha yang suaminya bekerja sebagai buruh lepas inin.

Hal sama dirasakan keluarga Bakar Said, 36 dan Maryati, 32. Anaknya, Ramadan, 12, mengalami cacat permanen diikuti gizi buruk. “Sehari sebelumnya disuntik vaksin BCG. Badannya panas, muntah-muntah dan buang air besar,” ungkap Maryati ibu korban yang bekerja sebagai tukang cuci.

Jika Fitri Ocatviani sakit dan mengalami cacat sejak usia 40 hari hingga usianya 11 tahun, Ramadan dari usia 6 bulan hingga usia 12 tahun. Tak hanya meninggalkan cerita pilu di keluarga Bakar dan Maryati, bahkan keluarga ini juga mengalami trauma berkepanjangan. Tak heran dua anaknya yang lain hingga kini tak pernah di imunisasi.

“Untuk apa di bawa ke Posyandu jika nantinya akan bernasib seperti Ramadan. Ini juga tidak di bawa anak saya baik-baik saja kok,” tukasnya menyesali peristiwa yang menimpa Ramadan.

Peristiwa sama dialami keluarga Safarudin dan keluarga Mahdah yang tinggal di Kelurahan Siantan Tengah, Pontianak Utara. Anak Safarudin bernama Adi, 3, mengalami panas dan kejang-kejang sejak diberi vaksinasi. Demikian halnya Andi Firman, 14, anak dari Mahdah, usai diberikan vaksinasi mengalami panas dan kejang-kejang hingga akhirnya lumpuh.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Puskesmas Siantan Tengah, dr Felicia Limantara mengatakan, pihaknya akan memperjelas mengenai kasus tersebut. Sampai sejauh ini belum mengetahui persis riwayat kasusnya. “Kita akan segera mencari tahu dan secepatnya turun dan mengunjungi rumah korban,” ungkapnya singkat. (lil)

Lumpuh Layu Serang Tiga Bersaudara

Tiga orang bersaudara dari keluarga miskin Rusni, 25, Mat Derun, 23 dan Jumiati, 19, warga Jalan Tritura, Gg H Ansari RT 03 RW 05 Kelurahan Tanjung Hilir, Pontianak Timur terkulai layu. Ketiganya menderita Acute Placid Paralysis (AFP-lumpuh layu).
Penyakit yang diderita ketiganya tidak menyerang secara bersamaan. Rusni, gadis sejak kecil hobi membaca ini terserang penyakit lumpuh layu sejak usianya kala itu 10 tahun. “Pada saat itu saya masih berumur 10 tahun persisnya kelas II SD,” cerita Rusni kepada Equator, kemarin.
Sementara Mat Derun adiknya Rusni, dia sudah 13 tahun terserang penyakit lumpuh layu. Sejak itulah hingga sekarang dia hanya bisa terbaring lemas pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa. Lain halnya dengan Jumiati, 19, dia baru terserang penyakit lumpuh layu sejak tanggal 3 Maret 2007. Meskipun pada saat itu Jumiati mengalami kecelakaan lalu lintas, namun dia sadar betul kalau kecelakaan yang dialaminya sama sekali tidak ada hubungannya dengan lumpuh layu yang dialaminya.
“Kaki saya tidak patah ataupun keseleo, yang parah di bagian kepala saya kok,” jelas Jumiati yang juga hanya bisa duduk dan menyandar.
Sebelum Jumiati mengalami lumpuh layu, dia sempat bekerja di Jakarta menjadi seorang pembantu rumah tangga. Tiga kali pulang ke Pontianak membuat dirinya banyak menyimpan dan menabung uang hasil jerih payahnya sebagai pembantu rumah tangga. “Dulu sewaktu saya bekerja menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta sering mengirimkan uang ke bapak yang ada di Pontianak. Uang itu saya pasrahkan kepada bapak untuk digunakan sehari-hari dalam menghidupi keluarga. Namun, uang itu bapak belikan tanah,” kisah Jumiati mengingat masa lalunya.
Setelah Jumiati jatuh sakit, tanah itu akhirnya dijual sang bapak untuk biaya pengobatan sang anak. “Beberapa kali saya diterapi dan diobati, namun tidak ada hasilnya. Hingga akhirnya uang tanah habis dan saya juga tidak sembuh-sembuh,” aku Jumiati yang sempat menamatkan SMP.
Keinginan sembuh tidak saja muncul dari wajah Jumiati, Rusni dan Mat Derun juga menginginkan kesembuhan itu. Tak heran jika pada saat berdialog bersama Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar Devie Tiomana ST ketiganya mengutarakan keinginannya untuk memiliki kursi roda.
“Saya ingin sekali memiliki kursi roda, namun lebih menginginkan sembuh,” ucap Mat Derun yang kakinya sudah tidak bisa diluruskan lagi.
Ketiganya sangat yakin kalau suatu saat dirinya akan sembuh dan berjalan seperti biasa. “Tidak ada yang tak mungkin jika Allah menginginkan,” kata Rusni optimis. Menanggapi hal tersebut Devie dalam waktu dekat akan mengusahakan kursi roda yang diinginkan ketiga penderita lumpuh layu ini. Devie yang juga sebagai Ketua Harian Lembaga Perlindungan Anak di Kalbar akan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak anak. “Tidak hanya di bidang hukum dan namun sebagai penyambung lidah masyarakat itu sebagian tanggung jawab kami sebagai lembaga yang konsen menangani anak. Selain itu juga kami berupaya untuk mendekatkan diri terhadap pelayanan kesehatan bagi anak atau siapapun,” jelas Devie kepada sejumlah wartawan.
Lembaga yang dipimpinnya tidak hanya bergerak di bidang hukum akan tetapi di bidang sosial juga bergerak. “Bagaimana anak mendapatkan akses di bidang kesehatan dan pendidikan. Pendidikan dan kesehatan gratis justru jauh dari anak,” ungkapnya panjang lebar.
Sementara menurut keterangan Fatimah, 40, ia mengatakan kalau penyakit yang dideritanya anaknya tergolong aneh. Jika ada faktor genetika (faktor keturunan, Red) kenapa tidak ada turunan dari orang tuanya. “Mungkin, memang sudah nasib kami,” ujar Fatimah yang kesehariannya bertugas hanya menjaga anak-anaknya. Selain ketiganya kata Fatimah, anak bungsungnya yang bernama Wahyuni, 10, tampaknya akan mengalami hal serupa seperti kedua kakak dan abangnya. “Meskipun dia masih bisa berjalan normal, di bagian lututnya juga sudah mengalami rasa nyeri. Jadi saking sakitnya dia sampai menangis merintih tidak tahan. Kami bersama bapaknya sudah berusaha membawanya berobat ke rumah sakit untuk mencegahnya,” jelas Fatimah diiyakan Wahyuni. (lil)

Kasus Lumpuh Layu Kembali Ditemukan

Belum hilang cerita penderita gizi buruk, sekarang muncul penyakit lumpuh layu (Acute Placid Paralysis). Korbannya, dua orang bersaudara dari keluarga miskin, Sadam Husin, 17 dan Dam’in warga Jalan Parit Pangeran, Gang Melati II RT 2 RW 10, Kelurahan Siantan Hulu, Pontianak Utara. Penyakit yang diderita keduanya tidak menyerang secara bersamaan. Sadam Husin, pemuda yang seharusnya sudah tamat SMA ini terserang lumpuh layu sejak usianya 7 tahun. “Pada saat itu saya masih berumur 7 tahun persisnya kelas I SD,” cerita Sadam ditemui Equator, kemarin.
Sementara adiknya Dam’in, dia terserang sejak usianya 4 tahun. Sejak itulah hingga sekarang dia hanya bisa terbaring lemas pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Keinginan sembuh tidak saja muncul dari wajah Sadam Husin, keinginan itu juga timbul dari Dam’in yang juga menginginkan kesembuhan itu segera datang.
Tak heran jika pada saat berdialog bersama Direktur Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar Devie Tiomana ST keduanya mengutarakan keinginannya untuk memiliki kursi roda. “Saya ingin sekali memiliki kursi roda, namun lebih menginginkan sembuh,” ucap Sadam Husin yang perkataannya tidak begitu jelas.
Keinginan sembuh dari kedua bersaudara ini sama dengan apa yang diinginkan tiga bersaudara yang terserang lumpuh layu di daerah Tanjung Hilir, Pontianak Timur, Rusni, Mat Derun dan Jumiati. ”Saya sangat yakin kalau suatu saat kami akan sembuh dan berjalan seperti biasa. Dan tidak ada satupun yang tak mungkin jika Allah menginginkan,” kata Sadam Husin penuh rasa optimis.
Menanggapi keinginan keduanya Direktur YNDN Kalbar, Devie Tiomana ST dalam waktu dekat akan berusaha sekeras mungkun kursi roda yang diinginkan kedua penderita lumpuh layu ini. Devie yang juga Ketua Harian Lembaga Perlindungan Anak di Kalbar akan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak anak.
“Tidak hanya di bidang hukum di bidang sosial dan kesehatan kami akan memperjuangkan nasib mereka. Dan YNDN akan berusaha menjadi penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah. Selain itu juga kami berupaya untuk mendekatkan diri terhadap pelayanan kesehatan bagi anak,” jelas Devie.
Sementara, menurut keterangan bapak kedua korban, Mulayar, penyakit yang diderita anaknya tergolong aneh. ”Jika ada faktor keturunan kenapa tidak ada turunan dari orang tuanya dan kakeknya. Mungkin, memang sudah nasib kami,” ujar Mulayar.
Menurutnya, kasus anaknya tersebut merupakan kasus anak beberapa kali di kunjungi dari Pemkot dann dari DPRD Kota Pontianak. “Tapi hanya kunjungan, hingga sampai saat ini anak yang memerlukan kursi roda belum terpenuhi,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menceritakan persalinan istrinya yang tergolong normal. “Dia lahir normal dan tidak ada kelainan pada saat melahirkan,” ujarnya. Untuk kesembuhan keduanya, Mulayar sudah berulang kali membawa anaknya ke dokter dan ke dukun serta singsang guna kesembuhan kedua anaknya. (lil)

Kamis, 08 Mei 2008

Melirik Penataan dan Kebersihan Kota Bontang, Kaltim (5)

Bedah Kampung Bisa Ditiru Kota Pontianak

Untuk mewujudkan Kota Bontang yang bersih dan terlepas dari kesan pemukiman kumuh, setiap tahunnya Pemkot Bontang selalu mengimbau warganya untuk hidup dan berperilaku bersih. Selain itu hampir setiap tahun, Pemkot juga mengaktifkan bedah kampung.
Pada 2008 ini saja, sedikitnya 972 rumah keluarga miskin yang tak layak huni telah direhabilitasi menjadi rumah yang layak huni oleh Pemkot Bontang. Bedah rumah yang dilakukan sejak 2001 itu merupakan cikal bakal program bedah kampung yang dicanangkan Ketua BKKBN Pusat.
Bedah kampung merupakan salah satu upaya untuk mengubah wajah kampung yang semula kumuh menjadi wilayah bersih dan sehat seiring Bontang Sehat 2008. Pada bedah kampung ini, selain rumah yang diperbaiki juga lingkungannya termasuk perilaku masyarakatnya.
Hal ini diakui Walikota Bontang dr H Sofyan Hasdam SpS saat memberikan pengarahan kepada ibu-ibu kelurahan dalam kegiatan pekan bersih yang digelar bekerja sama dengan Telkomsel pada acara Open Drive Test Telkomsel.
Menurut Sofyan, untuk menciptakan masyarakat yang sehat maka yang paling menentukan adalah bagaimana menciptakan lingkungan hidup yang baik, bagaimana mengubah perilaku masyarakat yang mendukung program kesehatan dan bagaimana menciptakan pelayanan kesehatan yang optimal.
Menurut Sofyan, tidak mungkin masyarakat sehat jika masyarakatnya masih tinggal di rumah yang tidak layak huni, belum mendapatkan aliran air bersih, tinggal di tengah pembuangan sampah dan limbah berbahaya. Bahkan masih ada yang tinggal di tengah rawa-rawa dengan air tergenang.
Perilaku masyarakat harus sesuai kaidah kesehatan dan meninggalkan perilaku yang tidak menguntungkan kesehatan. Selain itu, Pemkot Bontang juga telah meluncurkan program dokter keluarga dengan mendidik dan melatih 44 orang dokter untuk memberi pelayanan kepada masyarakat di klinik dokter keluarga.
Program Dokter Keluarga pertama kali yang dilaksanakan di Kota Bontang ini merupakan pilot project di Indonesia. Untuk menunjang program tersebut, Pemkot Botang telah menyiapkan klinik dokter keluarga di 9 lokasi. Dokter keluarga ini dibantu tim terdiri dari perawat, apoteker dan tenaga administrasi yang melayani 77.800 orang. Pelayanan kesehatannya tidak tergantung askes, jamsostek (Jamkesmas) atau asuransi kesehatan lainnya.
Kesuksesan Pemkot Bontang menanamkan perilaku hidup bersih kepada masyarakatnya terbukti dengan penanganan banjir. Sebelumnya, kota pengjasil batu bara ini langganan terkena banjir. Dalam sekejap, kota yang awalnya kumuh dan selalu menjadi langganan banjir ini secara drastis menjadi kota bersih dan bebas banjir.
Apalagi Pemkot Bontang lebih bersemangat ketika kota ini berhasil meraih dan mempertahankan Adipura. Penghargaan di bidang kebersihan ini memang menjadi impian setiap pemerintah kota, termasuk Bontang. Hal itu terlihat jelas dalam bentuk tindakan yang dilakukan Pemkot menjelang masa-masa penilaian Adipura dimulai. Semua kepala dinas sampai lurah sibuk.
“Malu rasanya kalau tahun ini Pemkot Bontang yang sudah pernah meraih Adipura, gagal. Apa jadinya kalau gagal. Apakah semua kepala dinas sampai lurah akan copot, atau disumpah serapah tujuh hari tujuh malam oleh masyarakat,” ujar Sofyan sebelum melepas rombongan dinas kebersihan dan Telkomsel pada saat melakukan pawai kebersihan beberapa waktu lalu.
Nah, jika Kota Bontang bisa berbenah dan sanggup mempertahankan Adiputa, lantas mengapa dengan Kota Pontianak? yang selama ini terkenal sebagai kota kumuh dan langganan banjir. Tinggal bagaimana mengelola sampah dan menanamkan kesadaran kepada setiap masyarakat, apakah mau seperti cara hidup masyarakat Bontang?.
Kenyataannya, Pemkot Pontianak belum memiliki pola untuk menanamkan perilaku hidup bersih kepada masyarakatnya. Kalau hanya slogan dan imbauan, semua daerah bisa melakukannya, baik dalam pertemuan maupun dalam kesempatan-kesempatan terbatas.
Bisa dipastikan jika pola hidup masyarakat dan Pemkot Bontang diadopsi oleh masyarakat dan Pemkot Pontianak, maka lambat laun Pontianak akan mengubah wajah dan kesan kotanya dari yang kumuh menjadi bersih. (kholil yahya/habis)

Melirik Penataan dan Kebersihan Kota Bontang, Kaltim (4)

Siap Menjadi Wilayah Percontohan Pengomposan Sampah

Untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, perlu penerapan metode pengelolaan sampah yang melibatkan partisipasi seluruh masyarakat. Apa yang dilakukan Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan, perlu di contoh. Mereka mengatasi timbunan sampahnya dengan menggunakan metode Reduce, Reuse dan Recycle (3R) atau mengurangi, gunakan kembali dan melakukan daur ulang. Predikat yang diraih dari Pemkot Bontang sebagai kelurahan pemenang Green Award yang biasanya dianugerahkan malam pergantian tahun memang tidak membuat masyarakat dan seluruh stakeholder di wilayah tersebut berpangku tangan. Sebaliknya semua lapisan masyarakat terus memacu dirinya secara pribadi untuk sadar kebersihan. Kelurahan hasil pemekaran dari Tanjung Laut uantuk sekian kalinya kata Walikota Bontang sering melaksanakan sosialisasi dan bimbingan teknologi (bintek) tentang penerapan sampah terpadu melalui metode 3R atau dengan melakukan pengurangan timbunan sampah, memanfaatkan sampah yang masih bisa digunakan serta melaksanakan daur ulang sampah. Selain melibatan pokja sehat kelurahan, pelaksanaan bintek juga melibatkan Kantor Kebersihan Pertamanan dan Pemadam Kebakaran (PMK) Bontang yang dilanjutkan pemberian alat pengomposan secara gratis kepada ibu-ibu dasawisma di lingkungan RT da RW yang dijadikan lokasi percontohan. Walikota Bontang dr HA Soyan Hasdam SpS mengaku, walaupun teknik pengomposan relatif mudah dilaksanakan. Namun, hal tersebut tetap memerlukan tekad dan kesungguhan dari seluruh masyarakat khususnya ibu-ibu yang hampir setiap hari bersentuhan dengan sampah rumah tangga dan dapur. “Terpilihnya salah satu kelurahan sebagai lokasi percontohan sudah melalui pertimbangan potensi wilayah, terutama dengan melihat tingginya tingkat partisipasi dan keaktifan ibu-ibu dasa wisma di wilayah tersebut. Nah kedepannya Wilayah Bontang siap menjadi wilayah Bontang secara keseluruhan dari kabupaten/kota yang ada di Indonesua,” terang Sofyan, pada saat membuka acara bersih-bersih di Kelurahan Api-Api pada saat perayaan Open Drive Test Telkomsel yang bekerjasama dengan Pemkot dan Dinas Kebersihan Kota Bontang.
Lebih lanjut dijelaskannya, jika metode 3R berhasil dilaksanakan di wilayah percontohan, maka ke depan metode yang sama akan bisa diterapkan untuk seluruh rumah tangga yang ada di wilayah masing-masing kelurahan. “Besar harapan saya kiranya metode 3R ini terlaksana dengan baik sehingga metode yang sama akan diterapkan di seluruh wilayah kelurahan,” ujarnya sambil menyerahkan bantuan bak sampah kering dan basah kepada ibu-ibu di kelurahan Api-Api.
Dalam hal kebersihan Bontang di banding Pontianak sangat jauh berbeda untuk mengikuti jejaknya pola pemerintahannya harus punya inovasi dan gebrakan, Selain memang harus s berbenah Pontianak mesti banyak belajar, Kota Bontang, Balik Papan, Kutai merupakan daerah yang paling tepat untuk dijadikan guru. Hal paling sederhana yang harus dilakukan yakni menyediakan bak sampah di daerah pemukiman padat penduduk seperti halnya yang ada di Kota Bontang. Selain itu menambah armada kendaraan pengangkut sampah, dan menanamkan rasa cinta kebersihan kepada masing-masing individu. Jika Kota Bontang dalam hal kebersihan selalu melibatkan remaja dan pelajar kenapa tidak di Pontianak? Perbandingan yang paling sederhana jika di Kota Bontang kita tidak akan melihat onggokan sampah yang bertaburan di sepanjang jalan. Tapi sebaliknya dengan Pontianak yang setiap saat akan melihat sampah yang ada di sepanjang jalan yang sehari-hari kita lalui. Pemandangan ini hampir terlihat setiap hari, sampah dan masalah kebersihan masih saja menjadi kendala yang besar. “Siapa bilang Pontianak bersih, kalau bersih kenapa banyak sampah di sepanjang jalan,” ucap Agus Salim salah seorang warga Pontianak Utara. Menurut Agus Walikota Pontianak dr Buchary A Rahman bisa berguru dan belajar dengan pola kebersihan Kota Bontang. Selain kebersihan yang sangat dikenal di Kota Bontang, kota ini juga pernah mendapat pengharagaan sebagai daerah yang paling prima dalam pelayanannya. “Kalau kita ingin bersih, mulai sekaranglah waktunya untuk berbenah,” ujar Agus. (kholil yahya/bersambung)

Melirik Penataan dan Kebersihan Kota Bontang, Kaltim (3)

Dana dan Alat Tak Berarti Tanpa Perubahan Sikap

Banyak hal dapat ditiru Kota Pontianak dari pengelolaan dan manajemen kebersihan di Kota Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim). Meskipun bukan perkara mudah, namun jika ada komitmen bersama masyarakat maka akan tercapai.
Hal terpenting yang harus digalakkan adalah kesadaran individu untuk menjaga kebersihan lingkungannya masing-masing. Tekad inilah yang menjadi kekuatan pokok Pemkot untuk menjadikan Bontang sebagai kota yang bersih dan nyaman.
Ketika rombongan Telkomsel bersama perwakilan wartawan se-Kalimantan berkunjung ke Kota Bontang, pekan lalu dalam kegiatan Open Drive Test Telkomsel, terkesima melihat kondisi lingkungan Kota Bontang.
Sebelum ke hotel, rombongan terlebih dahulu diajak berkeliling kota oleh kepala rombongan dari Telkomsel. Di sana bisa dilihat jelas pemandangan kota yang bersih dan indah. Penataan kotanya sangat rapi, rumput dan tanaman terlihat asri berjajar di sepanjang jalan. “Itu hasil kreativitas masyarakat dan pemerintah setempat,” kata Agus Kencana, salah seorang presenter khusus Telkomsel.
Menurutnya, untuk menjadikan kota bersih, walikota memberikan bantuan kepada masyarakat setempat. Untuk penataan kebersihan, Pemkot Bontang selalu melibatkan ibu-ibu PKK, dan siswa sekolah. Bagi sekolah, walikota menetapkan kebijakan khusus mengenai bantuan uang sebesar Rp 200 ribu per kelas dan 5 juta per sekolah untuk menciptakan suasana belajar yang kreatif. Uang itu digunakan untuk mendekorasi ruang kelas sesuai kebutuhan siswa.
Berarti, program kebersihan memang ditopang dengan anggaran sebagai salah satu perwujudan sebuah kebijakan yang berujung pada target peningkatan kualitas SDM. Hanya teori? Ternyata tidak, sebab Walikota Bontang benar-benar mengaktualisasikan konsepnya dengan cara praktis, terukur dan bisa diikuti segenap aparaturnya, termasuk tenaga pengajar dan para siswa sekolah serta masyarakat.
Selain itu, Walikota Bontang dr HA Sofyan Hasdam SpS, menekankan pada seluruh jajaran aparatur dan masyarakat Kota Bontang, bahwa kreativitas dalam segala bidang—termasuk kebersihan lingkungan, jalan dan pekarangan—merupakan suasana yang diidamkan dan keleluasaan mengekspresikan diri sebagai masyarakat.
Sofyan secara lantang mengatakan dirinya akan mempersiapkan Kota Bontang memiliki SDM yang siap mendukung daerah kawasan perikanan, selain penataan kota dan masalah kebersihan.
“Suatu saat, industri berbasis gas di Kaltim akan habis, kita harus antisipasi hal ini dengan mempersiapkan potensi lain sehingga bila sumber daya alam tidak terbarukan ini habis, Bontang sudah memiliki kekuatan lain,” ujar Softan.
Salah satunya, kata dia, adalah perikanan. Bontang memiliki luas laut yang lebih besar daripada daratan. Karena itu sedang disiapkan SDM yang memadai dalam pengelolaan perikanan tangkap dan perikanan budi daya.
Kebijakan yang bersumber dari ide-ide cerdas seolah mengalir tanpa henti dari sosok Sofyan Hasdam. Pemimpin ini berpandangan, peningkatan kualitas SDM dan kebersihan tidak hanya melalui pendidikan, dan penyuluhan kebersihan. Tetapi, tidak kalah pentingnya adalah budaya hidup.
“Coba kita lihat, dulu pasar-pasar begitu kumuh. Sampah teronggok di mana-mana. Biarpun pemerintah kota dibekali dengan truk-truk sampah modern dan tenaga yang lebih banyak, kita tidak akan mampu menangani kebersihan pasar-pasar itu. Maka kita perlu mengubah sudut pandang kita sendiri,” papar Sofyan.
Masalah sampah adalah masalah kedisiplinan. Kedisiplinan dari para pelaku di pasar itulah yang menyebabkan pasar menjadi kumuh. Karena itu, kita tidak perlu menambah armada kebersihan, kita hanya perlu menciptakan disiplin mengelola sampah.
Sofyan Hasdam yang mengawali debut kariernya sebagai dokter di sebuah Puskesmas di Lospalos, Timor Timur itu mengaplikasikan ilmu kesehatan dalam pengelolaan kawasan sebagai bagian dari tugasnya, sebagai Walikota Bontang. Soal latar belakang disiplin ilmu ini, sepintas tak ada bedanya dengan Walikota Pontianak yang juga seorang dokter.
Sofyan tidak pernah melewatkan tugas-tugas untuk memberikan penyuluhan langsung pada masyarakat untuk menyadarkan bagaimana pentingnya lingkungan sehat. Lingkungan yang sehat diperoleh dengan budaya disiplin.
“Saya selalu mengajak masyarakat untuk terbiasa menghargai orang lain. Dengan membuang sampah sembarangan, itu berarti tidak menghargai orang lain. Kalau setiap orang membuang sampah di sembarang tempat, artinya orang-orang sudah tidak saling menghargai. Artinya tidak ada kesetiakawanan sosial,” ucap Sofyan. (kholil yahya/bersambung)

Melirik Penataan dan Kebersihan Kota Bontang, Kaltim (2)

Black Award Bagi Kelurahan Jorok

Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim) menaruh perhatian besar terhadap pentingnya kebersihan lingkungan. Kesan kumuh seperti kebanyakan kondisi perkotaan, tak tampak di kota penghasil batu bara ini.
Dalam setiap kesempatan tatap muka dengan masyarakat maupun event-event tertentu, Walikota Bontang dr HA Sofyan Hasdam SpS selalu menyisipkan pesan-pesan tentang kebersihan lingkungan. Bahkan untuk perayaan malam pergantian tahun, kota ini menggelar kegiatan yang unik.
Kalau kebiasaan perayaan tahun baru di Kota Pontianak selalu diisi pesta kembang api dan hiburan musik, di Bontang ternyata lain. “Malam pergantian tahun itu tidak hanya dijadikan sebagai malam peralihan, tetapi juga dijadikan sebagai malam pengumuman penghargaan Clean Award, Green Award dan Black Award,” kata Sofyan Hasdam saat memberikan sambutan pada kegiatan bersih-bersih di Kelurahan Api-Api dalam Open Drive Test Telkomsel, Sabtu (19/4) pekan lalu bersama beberapa wartawan asal Kalimantan.
Hal ini dilakukan Pemkot Bontang guna mendukung langkah maju berbagai program-program kebersihan. Untuk menghindari agar tak memperoleh black award, para lurah di setiap kelurahan berkewajiban memberi pemahaman dan tanggung jawab untuk sama-sama menjaga kebersihan kepada masing-masing kepala keluarga maupun perorangan.
Sebaliknya bagi kelurahan terhijau akan membawa pulang Green Award dan Kelurahan terbersih akan membawa pulang Clean Award. Demikian sebaliknya bagi kelurahan paling jorok akan mendapat predikat Black Award. Agar terhindar dari predikat terkotok itu, setiap kampung dan kelurahan mengadakan program bedah kampung bersama masyarakat sekitar.
Bersih, hijau dan joroknya satu kampung atau kelurahan penilaiannya bermacam-macam dan ada indikator penilaiannya meliputi pelayanan kesehatan di kelurahan, sarana kebersihan, sanitasi di lingkungan kelurahan, taman, dan penggunaan halaman untuk tanaman obat keluarga.
Hal ini dievaluasi setiap enam bulan sekali. Pemkot bersama jajarannya akan mengevaluasi setiap kecamatan dan kelurahan di seluruh Kota Bontang dari sisi pengelolaan kesehatan lingkungan. Dari penilaian itu, apakah sebuah kawasan menjadi kumuh ataukah meningkat kebersihannya? Nah, kecamatan dan kelurahan yang mendapatkan nilai di bawah 200 akan mendapatkan Black Award alias Piagam Penghargaan Hitam bagi yang melalaikan kesehatan lingkungan . Dengan cara ini, warga berlomba-lomba menjaga lingkungan karena khawatir mendapatkan predikat yang mendatangkan aib.
Kendati tidak sebersih Singapura, namun Kota Bontang di bawah pimpinan Sofyan bertekad menjadi kota terbersih di Indonesia. “Memang hingga saat ini kita belum mendapatkan pengharagaan Adipura, tapi saya secara pribadi bertekad akan memajukan kota ini semaksimal mungkin khususnya di bidang kebersihan,” tegasnya.
Menurut Sofyan, masyarakatnya tidak hanya diimbau peduli terhadap kebersihan dan lingkungan. Bagi masyarakat yang akan membuang sampah, diingatkan untuk membuang pada malam hari. Sebab, jika ketahuan membuang sampah di luar jam yang sudah ditetapkan maka akan didenda sesuai Perda Kota Bontang.
Selain menerapkan regulasi itu, Pemkot Bontang melalui dinas kebersihan menyediakan berbagai bak sampah yang ditempatkan di sudut-sudut Kota Bontang. Bak atau kotak sampah itu sengaja di sediakan dalam dua bentuk, yakni bak sampah basah dan bak sampah kering. “Tinggal pilih sampah yang akan di buang apakah kering atau basah,” jelas Sofyan.
Dia menjelaskan jika suatu daerah ingin menerapkan hidup bersih dan asri sebenarnya tidak terlalu sulit, apalagi kemauan terhadap kebersihan dan keindahan sangat besar. Cukup dengan menawarkan beberapa program seperti Clean Award, Green Award dan Black Award. “Dan kita tetap menyuntik dengan program-program lain, intinya sama-sama mengarah kepada kebersihan,” ulas Sofyan. (kholil yahya/bersambung)

Melirik Penataan dan Kebersihan Kota Bontang, Kaltim (1)

Menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih

Pekan lalu, perwakilan para wartawan dari wilayah Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan (Pamasuka) berkesempatan mengunjungi Kota Bontang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mengikuti Open Drive Test Telkomsel. Kesan saat pertama kali memasuki kota tersebut, begitu asri dan nyaman.
Tak ditemukan sampah-sampah yang bertaburan di beberapa sudut kota maupun di sepanjang jalan raya dan gang-gang. Letak bangunan pemerintah, pemukiman penduduk dan fasilitas publik begitu tertata rapi. Sangat tampak jelas, tata kota yang diterapkan melalui perencanaan matang.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang memang sudah membudayakan perilaku hidup bersih bagi warganya. Motto yang disandang sebagai kota bersih, indah dan nyaman (Beriman) direalisasikan berkat kesadaran warga dan program yang dijalankan pemerintahnya. Sangat cocok jika konsep dan program yang dijalankan Bontang itu diadopsi oleh Pemkot Pontianak yang tak pernah sepi dari permasalah sampah.

Bontang merupakan salah satu daerah penghasil batu bara, berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Penataan kotanya sangat indah dan didukung gerakan ramah lingkungan. Di sepanjang Jalan Kota Bontang berjajar pepohonan hijau.

Kelak, jika bandara di Kota Samarinda sudah dioperasikan, masyarakat tidak perlu lagi menempuh hampir lima jam dengan perjalanan darat dari Bandara Sepinggan, Balikpapan. Tetapi bisa menempuh melalui perjalanan darat menuju Bontang yang hanya memakan waktu sekitar dua jam. Kendati demikian, jalan provinsi perlu diperlebar dan dipertebal karena frekuensi lalu lalang truk-truk industri.

“Kalau mau melihat Kalimantan Timur di tahun 2020 bisa diharapkan seperti Singapura saat ini,” kata Walikota Bontang dr HA Sofyan Hasdam SpS kepada Equator mengawali wawancara seputar kebersihan di kota tersebut. Meski tak sebersih di Singapura, namun Bontang telah cukup mewakili kota terbersih di Kalimantan.

Selain memerhatikan kebersihan, Sofyan ternyata fokus juga terhadap upaya pendidikan SDM (Sumber Daya Manusia) adalah prioritas utama pembangunan di Kaltim agar bisa memenuhi kecepatan pembangunan ekonomi. “Masyarakat Kalimantan Timur ini seharusnya bersyukur dianugerahi sumber daya alam yang melimpah. Karena itu, kita mesti membangun manusianya, agar bisa mengelola sumber daya alam yang melimpah itu dengan baik demi kesejahteraan Indonesia,” tuturnya.

Untuk mencapai Kota Bontang 2020, harus ada pilar-pilar praktis yang tersusun rapi dan membuahkan hasil. Bisa secara bertahap melalui pencapaian tahapan-tahapan target.

Berbekal predikatnya sebagai dokter, Sofyan Hasdam menaruh perhatian besar dalam pembangunan kualitas manusia. Masyarakat Kaltim tengah berupaya mewujudkan kesejahteraan. “Untuk sejahtera mereka harus terdidik. Pemerintah Kota Bontang selain memberikan pendidikan gratis 12 tahun, juga terus-menerus memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada para tenaga pendidik dan pengelola sekolah dasar dan menengah,” ungkapnya.

Walaupun gratis, tetapi berkualitas. Itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Begitulah salah satu komitmen Walikota Bontang. Bagaimana bentuk aktualisasi kualitas yang dimaksudkan walikota Bontang?

“Misalnya, kita terbiasa menargetkan siswa naik kelas 100 persen. Sehingga anak didik yang rajin belajar dan pantas naik kelas karena nilainya baik kemudian akan merasa sia-sia karena temannya yang tidak belajar-pun juga naik kelas,” kata Sofyan menanggapi pertanyaan Equator mengenai strategi peningkatan kualitas pendidikan dasar di Bontang. (kholil yahya-bersambung

Senin, 25 Februari 2008

Walet

Pro-Kontra Pembangunan Sarang Walet

Rencana pembangunan sarang burung walet di Gang Beringin II, Jalan Khatulistiwa Kelurahan Batu Layang terpaksa ditunda. Soalnya, belum seluruhnya masyarakat di kawasan itu setuju.

Bahkan dari kalangan warga setempat berkali-kali telah menembuskan surat penolakan tersebut kepada beberapa lembaga pemerintahan di Kota Pontianak. Salah seorang warga Gang Beringin II, Alip, 50, mengatakan, kalau penolakan tersebut dilakukan setelah berkoordinasi dengan warga RT 002/RW 007, tempatnya tinggal. Alasannya kata Alip, selain menimbulkan kebisingan, limbah kotorannya juga dianggap dapat mencemari lingkungan sekitar. Apalagi saat ini Indonesia, bahkan dunia sedang disibukkan dengan adanya penyakit flu burung yang belum ditemukan obatnya.

“Selama ini kami memanfaatkan air hujan untuk dikonsumsi. Takutnya dengan adanya limbah tersebut, maka akan mencemari minuman yang kami pergunakan untuk makan dan minum,” terang Alip, Sabtu (23/2).

Lagi pula menurutnya, pengusaha yang berencana membangun penangkaran walet di lokasi itu orang tempatan. “Selama ini pengusaha juga tidak pernah minta izin dan mengkomunikasikan hal ini kepada warga sekitar sini lagi,” lanjutnya.

Lain halnya dengan pernyataan Marsudi, 45, warga Gang Hidayah I ini mengatakan, bahwa semula memang masyarakat komplain dengan rencana pendirian sarang burung walet di daerah mereka. “Itu karena pada waktu itu tangan kanan pengusaha itu kurang pandai mengkomunikasikan hal ini dengan warga,” terangnya.

Namun setelah diganti, lanjutnya, masyarakat sebagian besar akhirnya menerima dan menyetujui rencana pembangunan tersebut karena pengganti pengusaha yang bernama Aman ternyata bisa meyakinkan masyarakat kalau usaha ini akan berdampak positif bagi mereka. “Asalkan sebagian besar pekerja diprioritaskan kepada orang dalam gang, kami sih tidak masalah” kata Marsudi.

Selain itu, pihak pengusaha juga diharapkan bisa memerhatikan lingkungan sekitarnya. Apalagi kalau usahanya tersebut telah berkembang. Minimal, jelas Marsudi, jalan di setiap gang diperbaiki dan juga dilebarkan. “Kalau ini benar maka hal ini akan berdampak positif,” ujarnya. (lil)

Pasar Puring

Lima Investor Lirik Pasar Puring
*Masih Tahap Pembicaraan

Pontianak, Equator

Rencana pemerintah merenovasi Kompleks Pasar Puring menggunakan dana APBD 2007-2008, akan melibatkan pihak ketiga. Saat ini kesepakatan masih dalam tahapa pembicaraan antara Pemkot Pontianak dan investor.

“Pihak ketiga adalah investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Untuk dana yang dianggarkan pemkot hanya Rp 336.548.700. Dana tersebut akan digunakan untuk tahap perencanaan,” kata anggota DPRD Kota Pontianak, Muhammad FAuzie Kholillulah, SSos, saat melihat langsung lokasi Pasar Puring, belum lama ini.

Dana sebesar itu (Rp 300 juta, Red) menurutnya paling-paling hanya bisa dipergunakan untuk memperbaiki bagian atas pasar. Karena jika direnovasi total, dana yang akan dikeluarkan akan sangat besar.

Ia belum bisa memastikan kapan investor tersebut merealisasikan niatnya. “Mungkin masih dalam tahap pembicaraan antara pemkot dengan pihak investor,” terang politisi muda yang tergabung dalam Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Berdasarkan informasi yang diketahuinya, hingga kini ada lima investor yang melirik Pasar Puring. “Namun persoalan ini masih harus dibicarakan lebih lanjut. Karena bagaimana pun pemerintah jangan sampai gegabah. Karena kita khawatir ini justru merugikan pedagang sendiri,” kata legislator dari daerah pemilihan (dapil) Kecamatan Pontianak Utara ini.

Namun ia menyarankan, penataan Pasar Puring yang melibatkan pihak ketiga semestinya ditenderkan kepada para investor. Dengan catatan, Pemkot Pontianak memberikan batasan yang cukup berpihak kepada pedagang.

“Jika kios-kios dalam penataan Pasar Puring telah berdiri, saya berharap investor tidak memberatkan para pedagang. Terutama dalam masalah pembiayaan. Setidaknya setiap kios yang didirikan dapat diangsur dengan cicilan yang ringan oleh pedagang,” pinta Fauzie yang tidak menyetujui jika adanya investor pedagang diberatkan.

Fauzie mengungkapkan, akhir-akhir ini pedagang mulai meragukan janji-janji pemerintah. “Maka tak heran jika pedagang meminta agar rencana ini tidak sekadar wacana,” ujarnya.

Sebaliknya, ia meminta pedagang bersabar. “Insya Allah berkat kesabaran pedagang dan perjuangan kami renovasi Pasar Puring meski tidak memuaskan akan secepatnya kita proses,” katanya dan berharap keseriusan pemerintah dengan melibatkan pihak ketiga, pasar itu terealisasi pada tahun ini. “Paling tidak sebelum Pak Wali lengser dari jabatannya,” ujarnya. (lil)

Kamis, 07 Februari 2008

Perumnas IV, Antara Kota dan Kabupaten (7)

Cari Titik Temu, Buka Kembali Dokumen Lama

Pada masa kepemimpinan Gubernur Parjoko, telah ada instruksi penyerahan kembali wilayah. Tak dipastikan, apakah instruksi itu dilaksanakan atau sebaliknya.


Dalam penantian yang belum berujung, kejelasan status wilayah Perum IV sebetulnya dapat diselesaikan asalkan ada keinginan dari Pemprov Kalbar, Pemkab Pontianak dan Pemkot Pontianak. Sejarah batas geografis kewilayahan harus dibuka kembali untuk mencari titik temu.

Awal mula polemik Perum IV ini terungkap ketika Perusahaan Umum (Perum) Perumahan Nasional (Perumnas) akan membangun perumahan di wilayah yang sekarang menjadi Perum IV. “Saat itu ada ketidakjelasan mengenai batas daerah tempat akan dibangunnya Perumnas IV tersebut,” ujar Zainuddin H Abdulkadir SH, Koordinator Wilayah (Korwil) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kalbar, Jumat (25/1)
Pihak Perum Perumnas kemudian mengeluarkan surat Nomor: Cab.II/U. Ptk/1079/90 tanggal 16 Oktober 1990, tentang mohon penjelasan batas wilayah Kota Madya Pontianak. Pada waktu itu dijawab Asisten I Bidang Pemerintahan, Perekonomian dan Pembangunan, Bahtiar MS SH atas nama Wali Kota Madya Kepala Daerah (KDH) Tingkat (TK) II Pontianak, Sekretaris Kota Madya/Daerah yang mengeluarkan surat Nomor.135/1512/P.P.A.

Surat perihal penjelasan batas wilayah Kota Madya Pontianak itu menjelaskan batas wilayah yang tertera dalam Peta Tata Guna Bangunan dari Bappeda Kota Madya Daerah Tingkat (Dati) II Pontianak adalah sesuai materi surat Nomor 136/1885/Pem.A tanggal 21 November 1989, tentang pengembalian wilayah Kabupaten Dati II Pontianak.
Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur KDH TK I Kalbar mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 03/SK/XIV-64 tanggal 11 Agustus 1964 yang mencabut Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak Nomor 24/I/1946/P.K tanggal 14 Agustus 946 tentang Landschape emeente Pontianak dan Perubahan Batas Wilayah Kota Praja Pontianak.
Berbekal dasar surat awal tersebut bisa dilihat surat dari Wali Kota Madya KDH TK II Pontianak Nomor:136/1885/Pem.A tanggal 21 November 1989 yang pada waktu itu dijabat oleh HA Madjid Hasan, perihal Pengembalian Wilayah Kabupaten Dati II Pontianak yang ditujukan kepada Bupati KDH TK II Pontianak.
“Di dalam surat tersebut, pihak Wali Kota KDH TK II mengacu kepada Surat Gubernur KDH TK I Kalbar Nomor: 650/1918/Pem-B tanggal 2 April 1988, perihal batas Administrasi antara Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak telah ditentukan,” kata Zainuddin.
Menurutnya, batas administratif tersebut meliput wilayah di antara Sungai Malaya “cabang kiri” dengan Sungai Malaya “cabang kanan” terletak di Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Dati II Pontianak yang berbatasan dengan Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Madya Dati II Pontianak. Lokasi berpenduduk 270 kepala keluarga (KK) atau sama dengan 1.445 jiwa saat itu yang dibina oleh Kota Madya Dati II
Pontianak, supaya dikembalikan kepada Kabupaten Pontianak.

Sedangkan, wilayah di antara batas Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak sampai dengan aliran Sungai Ambawang (yang terletak di Desa Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Dati II Pontianak yang berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Hulu, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Madya Dati II Pontianak) yang awalnya dibina oleh Kota Madya Dati II Pontianak, supaya dikembalikan kepada Kabupaten Dati II Pontianak.

Berkenaan penentuan batas daerah tersebut, Gubernur KDH TK I Kalbar yang pada waktu itu dijabat Parjoko S telah memberi batasan waktu selambat-lambatnya 31 Mei 1998 agar Wali Kota Madya KDH TK II Pontianak menyerahkan kembali wilayah tersebut kepada Bupati KDH TK II Pontianak. “Saya tidak tahu apakah penyerahan yang dimaksud surat tersebut telah terlaksana atau belum,” kata Zainuddin yang memaparkan beberapa dokumen berupa surat menyurat.

Menurut dia, jika surat dari Gubernur KDH TK I Kalbar Nomor:650/1918/Pem-B tanggal 2 April 1988, perihal batas administrasi antara Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak tersebut telah dilaksanakan, maka polemik batas wilayah saat ini tak terjadi. (lil/habis)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (6)

Dua Opsi Ditawarkan, Telah Selesai Dibahas BPN

Opsi ditawarkan, aspirasi masyarakat perlu diakomodasi. Pemprov perlu memfasilitasi.

Masyarakat sudah mulai jenuh karena lambatnya respons pemerintah dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah pemerintahan. Polemik telah berlangsung delapan tahun tetapi status Perum IV masih belum jelas.

Sejak Kabupaten Pontianak belum dimekarkan menjadi Kabupaten Kubur Raya, polemik ini telah terjadi. Saat yang tepat jika Kubu Raya yang baru terbentuk menyelesaikannya bersama-sama Pemkot Pontianak. Langkah ini diperlukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat.

Akibat yang jelas tampak tentu saja soal administrasi kependudukan dan sertifikasi tanah. Dampak negatif akan bertambah kalau sudah memasuki Pilkada Kubu Raya dan Pilwako Pontianak. Hak memilih sekitar dua ribuan warga Perum IV itu akan diakomodasi kemana.

Sebetulnya telah ada opsi untuk mencari titik temu dan penyelesaian. Opsi pertama adalah mempertimbangkan batas wilayah Kecamatan Sungai Ambawang. Opsi kedua, menata kembali kawasan tersebut dengan menyerap aspirasi masyarakat. Opsi kedua ini disampaikan Bachtiar, Kabag Bina Kap Pemhan Setda Provinsi Kalbar dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Provinsi Kalbar, 31 Oktober 2007 lalu.
Secara gamblang Bachtiar menyebutkan selama ini di tingkat masyarakat terkesan adanya pemaksaan kehendak agar Perum IV bergabung ke Pemkot Pontianak. Padahal wilayah tersebut diakui terbentur Undang-Undang Pembentukan Daerah-Daerah di Provinsi Kalbar, salah satunya Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Pontianak yang menjadikan kawasan tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

“Jika keinginan bergabung dengan Kota Pontianak karena kedekatan pelayanan, semestinya menjadi lebih baik jika Perum IV bergabung dengan Kabupaten Kubu Raya,” kata Bachtiar.
Namun jika polemik semakin berkepanjangan, pemerintah tetap akan mengambil solusi dengan menawarkan dua alternatif. Pertama yakni mempelajari batas Kecamatan Sungai Ambawang yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kubu Raya. Di sisi lain, Perum IV juga dikelilingi Kelurahan Parit Mayor dan Kelurahan Tanjung Hulu yang masuk wilayah Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Kedua yakni, tetap mengakomodir keinginan masyarakat di kawasan seluas 24 hektar tersebut. Namun konsekwensinya, ketika keinginan itu dipenuhi, maka diyakini Bachtiar akan bermunculan persoalan-persoalan yang sama, rentetan dari persoalan serupa..
“Kita akan mengupayakan pertemuan antara Pemerintah Provinsi (Kalbar), Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, dan Pemerintah Kota Pontianak dan mudah-mudahan polemik ini terpecahkan. Kedua alternatif tersebut telah selesai dibahas bersama BPN (Badan Pentahanan Nasional) Provinsi Kalbar,” ujarnya. (lil/bersambung)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (5)

Win-win Solution, Kembalikan pada Aturan

Apapun keputusan pemerintah tentang status wilayah Perum IV, tidak merugikan berbagai pihak. Jalan terbaik, kembalikan lewat aturan.

Keputusan bijak soal batas wilayah Perumnas IV, apakah masuk Kota Pontianak atau Kabupaten Kubu Raya, ditunggu banyak orang. Terutama warga yang bermukim di kawasan itu. Jangan sampai keputusan yang dihasilkan merugikan masyarakat yang menginginkan Perum IV di wilayah Kota Pontianak, dan sebaliknya.

Pangkal persoalan batas wilayah itu sebenarnya, kata anggota DPRD Kalbar Zainuddin Isman, terletak di SK Gubernur No 03/SK/XIV, 11 Agustus 1964 tentang batas wilayah Kota Pontianak dengan Kabupaten Pontianak. Dalam SK itu banyak menyebut nama-nama parit sebagai pembatas wilayah kedua pemerintahan.

Namun bakal tidak mudah berpedoman pada batas parit tersebut. Soalnya, kondisi parit yang ada saat ini banyak yang sudah tidak jelas. Bahkan pada saat dirinya ke lapangan, dari 10 orang yang ditanya mengenai batas parit, masing-masing punya jawaban sendiri.

“Pangkal permasalahan lainnya karena dulu Perumnas menerbitkan sertifikat induk ke BPN Kabupaten Pontianak,” kata Bang Zis, sapaan akrabnya. Dia menyarankan agar langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut yakni, pemerintah dalam hal ini gubernur untuk memfasilitasi pertemuan antara penjabat Bupati KKR, DPRD KKR, bersama Wali Kota Pontianak dan parlemennya untuk duduk satu meja.
Dalam pertemuan tersebut gubernur nantinya mesti mempertegas SK Tahun 1964. “Nah, setelah ditegaskan mana batasnya, perlu ada perundingan kembali apakah itu masuk Pontianak atau Kabupaten Kubu Raya dengan proses kedua belah pihak,” sarannya.

Berbekal dari pertemuan tersebutlah gubernur kemudian meneruskan ke pemerintah pusat yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri.

“Jangan sampai gara-gara ada desakan dari masyarakat terus pemerintah buru-buru menetapkan status batas Perum IV, tanpa mengacu kepada aturan yang ada. Itu biasanya akan menimbulkan masalah,” jelasnya.

Komentar serupa dikatakan Aceng Mukarram, menurutnya, sebenarnya masyarakat sudah bosan hidup dalam situasi yang tak jelas seperti ini. Kendati demikian, ia menyarankan agar desakan masyarakat ditanggapi sebagai saran dan kritik atas kinerja pemerintah yang selama ini dinilai lamban.

“Pada dasarnya kami sudah lama mendambakan jelasnya status wilayah. Akan tetapi kami tidak ingin jika nanti ada keputusan mengenai batas wilayah timbul persoalan baru yang berujung pada konflik massal atas ketidakpuasan,” kata Aceng.

Karenanya dalam menentukan status batas Perum IV tersebut pemerintah lebih bersikap arif dalam menyikapi persoalan tersebut. “Kembalikan semua kepada aturan yang sebenarnya,” sarannya lagi. (lil – bersambung)

Rabu, 23 Januari 2008

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (4)

Tarik Ulur di Tingkat Atas dan Bawah

Pemerintah Provinsi Kalbar bukan tak berupaya dalam sengketa batas wilayah Perumnas IV. Sejak tahun 2003, saat pemerintahan almarhum Aspar Aswin, Pemrov berupaya mencarikan jalan keluar kisruh Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (dulu Kabupaten Pontianak, Red) itu. Hanya memang hingga pergantian kepemimpinan KB 1, persoalan tapal batas tidak terselesaikan.

Sudah beberapa kali, kata Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kalbar, Drs Sumarno, Pemprov melacack titik batas di lapangan. Salah satunya pada tanggal 20 April 2005 lalu. Namun pelacakan tersebut gagal karena belum ada kesepakatan antara Pemerintah Kota Pontianak dengan Pemerintah Kabupaten Pontianak waktu itu soal landasan yuridis formal yang digunakan. Di satu sisi, Pemerintah Kota Pontianak menghendaki SK Gubernur Nomor 03/SK/XIV Tanggal 11 Agustus 1964 tentang Batas Wilayah Kota Pontianak dengan Kabupaten Pontianak (sebelum Kabupaten Kubu Raya) direvisi. Gantinya, Pemrov harus mengeluarkan penetapan batas wilayah menggunakan SK Gubernur yang baru. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pontianak tetap berpedoman pada SK Gubernur Nomor 03/SK/XIV Tanggal 11 Agustus 1964.
Sumarno menilai penyelesaian batas wilayah Perum IV harus melalui beberapa tahapan. Pertama, menetapkan batas wilayah sementara berdasarkan SK Gubernur Nomor 03/SK/XIV Tanggal 11 Agustus 1964 setelah melakukan pelacakan titik-titik batas di lapangan. Sementara itu, aspirasi masyarakat di Perum IV tetap ditampung untuk diproses sesuai mekanisme yang ada. Selanjutnya, hasil pelacakan berupa batas wilayah sementara tersebut harus mendapat persetujuan antara DPRD Kabupaten Kubu Raya dan DPRD Kota Pontianak serta Pemerintah Kota Pontianak dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya. Apabila semua pihak sudah setuju tentang batas wilayah sementara yang ditetapkan, maka hasilnya disampaikan kepada DPRD Kalbar. DPRD Kalbar menyampaikan kepada Gubernur Kalbar untuk disampaikan ke Mendagri dan ditetapkan.

Namun suara-suara di bawah banyak yang simpang siur. Kalau sebelumnya sebagian besar masyarakat Perum IV menginginkan agar statusnya dikembalikan kepada asalnya. Sebaliknya komentar yang justru bertolak belakang menginginkan agar Perum IV dimasukkan ke wilayah Kabupaten Kubu Raya.

Seperti apa yang dikatakan Sutrisno Ketua RW 7 Perumnas IV Kecamatan Sungai Ambawang. Ia sudah lebih dari 15 tahun berdiam di Perum IV. Alasan yang disampaikannya sederhana, letak geografis dan status hukum wilayah Perum IV berada di Pemerintahan Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Kubu Raya, Red).

Komentar Serupa disampaikan Edy Lukman Hakim, Ketua RT 06 Perumnas IV, Desa Sei Ambawang Kuala. Selaku pengurus RT 06 RW VI Perumnas IV menginginkan agar status Perum IV dikembalikan ke wilayah Kabupaten Kubu Raya. (lil – bersambung)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (3)

Ditunggu, Ketegasan Sikap Pemerintah Provinsi

Delapan tahun batas wilayah Perum IV tak terselesaikan. Perlu kearifan pemerintah untuk memutuskannya.


Delapan tahun bukan waktu sebentar bagi masyarakat Perumnas IV menanti status wilayah yang mereka diami. Selama itu, bukan sekali dua saran, pengaduan, disampaikan masyarakat baik kepada Pemerintah Kota Pontianak maupun Kabupaten Pontianak (sebelum Kubu Raya diresmikan, Red).

Namun dua pemerintah daerah ini juga tak mampu berbuat banyak. Justru terjadi saling klaim batas wilayah. Pemerintah Provinsi Kalbar dapat tempias.

Bagi masyarakat, kejelasan status sangat penting ketimbang memperdebatkan dua wilayah yang masih samar. Secara umum mereka hanya menginginkan ketenangan.

Ketua Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) Junaidi Abdillah SE menilai pada dasarnya masyarakat tidak mempersoalkan masalah tersebut. Masyarakat hanya menginginkan kejelasan status mereka.

Sebagai FKPM ia mengimbau masyarakat apa pun keputusannya nanti masalah status Perum IV tidak menimbulkan gesekan. Saat ini fakta di lapangan polemik Perum IV sudah menimbulkan percikan-percikan di masyarakat. Ia tidak menginginkan gesekan tersebut berdampak terhadap tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. “Jangan sampai kita rakyat kecil menjadi korbannya dari kepentingan sebagian golongan,” ucapnya.

Dia menyarankan agar warga bisa belajar dari berbagai kasus di beberapa daerah lain karena batas wilayah yang tidak jelas bisa menimbulkan konflik antarwarga. “Kalau daerah kita jangan sampai seperti itu,” pintanya.

Satu hal lain, ia mengingatkan keseriusan pemerintah dan pemerintahan dua kabupaten/kota terkait duduk satu meja menuntaskan polemik itu. “Kita khususnya masyarakat perum IV, sudah beberapa kali selama delapan tahun menyampaikan aspirasi baik itu ke pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Namun jawaban yang diberikan hampir sama dari tahun ke tahun,” jelasnya.

Sesuai visi dan misi FKPM yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dia mengingatkan kepada masyarakat Perum IV agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan. “Jangan mudah terpancing dan terprovokasi oleh isu yang sengaja ingin memecah belah persaudaraan dan persatuan,” katanya mengingatkan.

Tokoh pemuda Perum IV, Aceng Mukaram, menilai perdebatan tentang status Perum IV menurutnya hanya buang-buang waktu. Persoalan tersebut katanya banyak ditunggangi sebagian kelompok yang mencoba bersembunyi di belakang. Dia menginginkan masalah kalau Perum IV ada pada pemegang kebijakan. “Jangan sampai polemik ini terus-terusan digaungkan, kasihan kami warga kecil,” harapnya.

Ketimbang persoalan tersebut Aceng menyarankan agar pemerintah lebih memerhatikan kondisi infrastruktur yang ada di Perum IV. “Bagusnya pemerintah perbaiki jalan kami,” ucapnya. Khusus persoalan tersebut dia mengharapkan ada ketegasan dari pemerintah propinsi. “Kalau perlu bentuk tim khusus yang menangani persoalan Perum IV,” harapnya. (lil – bersambung)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (2)

Demi Tertib Administrasi, Kembalikan Saja ke Asalnya

Belum ada kepastian soal status Perum IV. Masuk wilayah Kota Pontianak atau Kubu Raya. Perlu pemetaan ulang agar tak terjadi kekacauan administrasi kependudukan dan wilayah.


Delapan tahun sudah berlalu, status Perum IV belum memiliki kepastian masuk ke wilayah mana. Nyata sekali tak ada keseriusan untuk menyelesaikannya sehingga terlihat lebih rumit dibandingkan proses pemekaran wilayah.

Aspirasi mayoritas masyarakat yang tinggal di Perum IV sebetulnya menginginkan agar status Perum IV dikembalikan ke asalnya. Hal ini menyangkut berbagai persoalan administrasi mulai dari identitas hingga persoalan kependudukan. Warga Perum IV terdata dan terdaftar di wilayah Kota Pontianak.

Secara geografis wilayah Perum IV masuk ke Kelurahan Saigon. Kelurahan ini dikelilingi Kelurahan Parit Mayor dan Kelurahan Tanjung Hulu. Dua kelurahan tersebut sama-sama berada dalam wilayah Kecamatan Pontianak Timur yang berbatasan langsung dengan Desa Kuala Kecamatan Sungai Ambawang.

Ada beberapa persepsi terhadap status wilayah itu jika dilihat dari asal usul kepemilikan tanah berupa Surat Kepemilikan Tanah (SKT). Dapat juga dijadikan pertimbangan yakni soal pelayanan pemerintahan terhadap masyarakat hingga status yuridis wilayah.

Ketua Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) Pontianak Timur, Junaidi Abdillah SE mengatakan, polemik Perum IV sebenarnya sudah mencuat ke permukaan mulai delapan tahun silam.

Menurutnya, kasus ini dapat diselesaikan singkat jika masing-masing pihak serius untuk menyelesaikannya. “Coba kita bandingkan dengan pemekaran kabupaten dalam waktu lima tahun terakhir sudah beberapa kabupaten baru terbentuk. Pertanyaan apakah ada keseriusan dari pemerintah untuk memproses ini,” tanya Junaidi yang bermukim di wilayah Perum IV.

Junaidi menjelaskan persoalan status Perum IV memang sudah lama dan bukan hal baru. Namun kenyataannyaa, dibiarkan begitu saja oleh pemerintah tanpa ada solusi.

“Yang terjadi kan saling lempar, Pemerintah Kabupaten Pontianak dulu yang sekarang menjadi pemerintah Kabupaten Kubu Raya melemparkan persoalan ini ke wilayah provinsi demikian juga Pemerintah Kota Pontianak,” ujarnya.

Momentum penetapan dan pemetaan wilayah Kabupaten Kubu Raya hasil pemekaran Kabupaten Pontianak sangat tepat jika status Perum IV untuk segera terselesaikan. “Sekarang waktunya, untuk menyelesaikan persoalan tapal batas wilayah perum IV,” jelasnya. (lil/bersambung)

Perumnas IV, antara Kota dan Kabupaten (1)

Soal Pilihan, Tanyakan Saja ke Masyarakat

Belakangan nama Perumnas IV jadi buah bibir. Dibicarakan oleh banyak orang, dan tak lepas dari pemberitaan media massa.
Bukan lantaran murahnya kredit perumahan di kawasan itu. Tapi karena lokasi wilayahnya yang tak kunjung mengantongi kejelasan. Warga di sana bingung berdiri di antara dua wilayah, Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, kabupaten yang baru seumur jagung diresmikan.
Persoalan Perumnas IV sebenarnya bukan barang baru. Polemik ini muncul setiap kali akan adanya perhelatan akbar melibatkan banyak orang. Ketika menjelang akhir masa kepemimpinan Gubernur Kalbar H Usman Ja’far, persoalan Perum IV mencuat.
Setiap kali muncul, dibahas, setiap kali itu juga tidak ditemukan penyelesaian. Status Perum IV mengambang dari tahun ke tahun, hingga pucuk kepemimpinan Kalbar berganti wajah.
Kali ini nama Perum IV kembali disebut-sebut setelah Kubu Raya diresmikan. Persoalannya bisa dibilang rawan, menyangkut hak pilih masyarakat pada perhelatan pemilihan bupati kabupaten ke-14 tersebut.
Di sisi lain, Kota Pontianak juga punya agenda memilih Wali Kota Pontianak yang baru. Nah persoalan status warga menjadi hal mutlak diperjelas.
Perlu kearifan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut agar tidak berlarut-larut dan pada akhirnya akan berdampak pada pelayanan kepada masyarakat. Apalagi untuk tujuan jangka pendek, pihak KPUD pada dua wilayah sangat membutuhkan kepastian tentang status kawasan terkait pendataan pemilih dan menghitung kebutuhan logistik pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Banyak versi menyangkut status wilayah Perumnas IV. Jika ditelisik lebih jauh, pada tahun 1964, Gubernur Kepala Daerah (KDH) Tingkat (TK) I Kalbar telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/SK/XIV-64 tanggal 11 Agustus 1964 tentang mencabut Keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak Nomor 24/I/1946/P.K tanggal 14 Agustus 1946 tentang Landschapa Gemeente Pontianak dan Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Pontianak. Persoalan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Gubernur KDH TK I Kalbar Nomor: 650/1918/Pem-B tanggal 2 April 1988, perihal batas Administrasi antara Kota Madya Dati II Pontianak dengan Kabupaten Dati II Pontianak telah ditentukan untuk dikembalikan ke Kabupaten Pontianak. Kawasan yang dikembalikan tersebut termasuk wilayah Perumnas IV.
Namun, banyak fakta menunjukkan kawasan yang memiliki penduduk lebih dari 2.000 Kepala Keluarga (KK) ini orientasinya lebih kepada Kota Pontianak. Beberapa di antaranya adalah Surat Keterangan Tanah (SKT) asal, yang membuktikan Perumnas IV bagian wilayah Kota Pontianak. Kemudian, berdasarkan Akad Kredit Rumah Pasal 6 ayat 1 tanggal 7 November 1995, menyebutkan Perumnas IV terletak di wilayah Kecamatan Pontianak Timur, apalagi secara georafis wilayah Perumnas IV lebih dekat ke wilayah Kelurahan Saigon, Kecamatan Pontianak Timur.
Sementara, SK Gubernur Nomor 03/SK/XIV-64 tentang perubahan batas wilayah dianggap sudah tidak jelas.
Ketua Program Magister Ilmu Sosial, Dr Zulkarnaen mengatakan, Pemkot Pontianak dan Pemkab Kubu Raya sebenarnya tidak terlalu dirugikan atau diuntungkan dengan wilayah tersebut masuk atau tidak dalam wilayah mereka. Terpenting, katanya, tanggung jawab negara adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kalaupun masyarakat merasa lebih mudah mendapatkan pelayanan ketika wilayahnya masuk Kota Pontianak, itu akan lebih baik. “Saya kira kuncinya di masyarakat. Sekarang tinggal ditanyakan kepada masyarakat, mau pilih mana. Ini juga merupakan aspirasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan partisipasi mereka terhadap wilayah yang ditempati sekarang,” sarannya.
Dikatakannya, persoalan tersebut memang harus segera diselesaikan oleh kedua pemerintah yang belum mendapatkan titik terang tentang status wilayah tersebut. Apalagi kedua daerah tersebut kini mulai memasuki tahap persiapan pelaksanaan Pilkada yang tentunya akan berkaitan dengan persoalan pendataan pemilih dan persiapan logistik.
“Makin cepat diselesaikan makin baik. Bisa saja melalui perwakilan warga ataupun keseluruhan karena bagaimanapun merekalah yang nantinya akan merasakan soal pelayanan pemerintah,” terangnya. (lil – bersambung)