Kamis, 23 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 6)

Menjadikan TNGP Sebagai Ikon Daerah

Selain akses yang sulit untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), sarana dan prasarana di area penelitian ini masih rusak parah. Tugas pemerintah daerah untuk memperbaikinya. Tahap awal, perbaikan dapat diprioritaskan pada bangunan-bangunan seperti tempat kerja peneliti (camp besar) tempat tinggal peneliti, tempat tinggal petugas dan karyawan. Sementara untuk fungsi beberapa bangunan sebaiknya diubah sesuai kebutuhan.
Sarana dan prasarana di stasiun riset Cabang Panti yang ada pada saat ini hanya pondok sederhana untuk tempat tinggal peneliti. Untuk mempercepat proses operasionalisasi di stasiun penelitian ini, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP memberikan beberapa kegiatan skala prioritas.
Tahap awal, peneliti harus tinggal bersama dengan pembantu peneliti dalam satu bangunan. Ukurannya 4,5 x 12 meter dengan jumlah kamar 4 buah masing-masing berukuran 3x3 meter.
Tahap kedua memperbaiki bangunan yang menjadi tempat kerja peneliti terdiri dari ruang kerja bangunan, tempat tinggal peneliti dan pembantu peneliti. Yang ketiga yakni pembangunan ruang bambu. Barulah masuk kepada pembersihan jalur sungai menuju lokasi. Perbaikan jalur sungai dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalur dari semak belukar, pohon dan berbagai rintangan yang menghalangi.
Ditanya mengenai keinginan dan harapan dari pengelola TNGP, Bupati Kayong Utara Hildy Hamid BE merencanakan perbaikan tersebut. Meski hingga sampai saat ini Pemda belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP. Namun pihaknya berencana menjadikan TNGP sebagai ikon daerah yang benar-benar dikenal dunia luar. “Saat ini yang perlu kami lakukan yakni menghilangkan citra negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan TNGP,” ujar Hildy.
Selain akses keluar masuk yang akan disulap, pihaknya juga berencana membangun camp untuk para peneliti lokal maupun asing. Para peneliti tidak perlu masuk ke lokasi TNGP dengan susah payah. “Insyaallah dalam waktu dekat Pemda sudah bisa memperbaiki akses keluar masuk lokasi TNGP dengan sedikit memperbaiki akses sarana menuju lokasi,” ungkapnya.
Camp itu akan didesain sederhana untuk memberikan pelayanan yang standar kepada para peneliti. “Tapi kita akan membatasi masyarakat umum keluar masuk lokasi, demi menjaga keasrian lingkungan TNGP,” katanya.
Hasil penelitian, kata Hildy selain menjadi arsip pribadi peneliti, juga akan menjadi referensi pemerintah daerah setempat. “Selain itu peneliti juga wajib menyimpan hasil penelitian di camp di mana peneliti tinggal,” ungkapnya. (Kholil Yahya – Habis)

Minggu, 19 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 5)

Jarak Tempuh Lokasi dan Keindahan Gunung Palung

Lokasi penelitian Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) sebenarnya dipusatkan di lembah antara Gunung Palung dan Gunung Panti. Namun lokasi penelitian lebih dikenal dengan sebutan cabang panti dengan luas areal sekitar 1.500 hektar yang mencakup empat tipe vegetasi.
Sebagian besar masih berupa hujan primer yakni hujan rawa gambut, ekosistem alluvial, hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.
Stasiun riset cabang panti dapat dicapai melalui dua jalur yakni melalui sungai rantau panjang menggunakan long boat. Jalur ini sering menjadi pilihan pada musim hujan karena permukaan sungai cukup tinggi untuk di lalui long boat.
Biasanya, para penelitian untuk sampai di cabang panti melalui jalur sungai dari Dusun Semenjak atau Gunung Lalang (Desa Harapan Mulia). Jarak tempuhnya dari Dusun Semanjak ke stasiun penelitian cabang panti 24,6 kilometer. Sedangkan jarak dari Gunung Lalang ke stasiun riset cabang panti 35 kilometer. Perjalanan dari dua tempat ke stasiun cabang panti di tempuh dalam waktu sekitar 5 hingga 6 jam.
Jalur kedua untuk sampai di stasiun resit cabang panti adalah melalui Dusun Tanjung Gunung dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 16 kilometer yang dapat ditempuh 6 jam hingga 7 jam. Jalur ini dapat dilalui pada musim kering maupun penghujan. Saat ini untuk jalur sungai kondisinya sangat sulit dilalui. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pohon, semak dan sampah di sepanjang sungai mulai dari Sungai Sebarat hingga ke Sungai Air Putih menuju stasiun riset cabang.
Demikian juga kondisi jalur darat dari dusun Tanjung Gunung cukup sulit untuk di lalui, terutama dari jalan setapak Dusun Tanjung Gunung. Hal ini disebabkan tertutupnya jalan oleh semak belukar. Selain itu jalan di samping jalur irigasi perairan (parit) sebagian besar tanahnya tergerus air sehingga sangat susah untuk dilewati.
Sedangkan dari Sungai Rangkong dan ke Sungai Bayas sebagian besar jalurnya sulit untuk di lalui. “Beberapa tanda jalur sudah rusak dan tidak dapat dikenali lagi,” kata Surya salah seorang driver (seorang pembawa long boat, sebutan masyarakat KKU).
Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP, Hendra Gunawan SP mengatakan kondisi jalur menuju stasiun penelitian cabang panti cukup sulit dilalui. Berbagai upaya sudah dilakukan. Perbaikan jalur pernah dilakukan dengan cara pembersihan jalur dari semak belukar pohon dan berbagai rintangan lain yang menghalangi jalur sungai. “Selain itu, kami juga memperbaiki tanda pengenal jalur seperti pita dan tanda pengenal lainnya,” ungkap Hendra yang sudah mengabdikan diri sejak tahun 2003 silam.
Mengingat kondisi jalur darat khususnya dari Tanjung Gunung sampai lokasi penelitian kondisinya rusak cukup parah dan melewati areal terbuka yang sangat panas, maka sebaiknya dibuat jalur baru dengan membuat jalan tembus (rintis) baru Tanjung Gunung sampai ke lokasi penelitian, melalui areal hutan depan kampung.
Alternatif lain jalan sungai dapat dilalui dari Sungai Sebarat. Jalur ini melalui jalan darat terlebih dahulu yang melewati Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir dan Transmigrasi Rantau Panjang. Jarak dari Jalan Provinsi ke Sungai Sebarat 10 kilometr dengan kondisi jalan cukup bagus (sedang dalam perbaikan) sehingga dapat dilalui sepeda motor.
Sedangkan jarak dari Sungai Sebarat hingga ke stasiun riset cabang panti 12, 56 kilometr yang dapat ditempuh dalam waktu dua hingga tiga jam menggunakan long boat. (Kholil Yahya – Bersambung)

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 4)

Menepis Isu Negatif, Tumbuhkan Daya Pikat

Untuk menepis isu negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) butuh kerja keras dari semua pihak. Tekad kuat yang dimiliki Bupati Kayong Utara, Hildy Hamid BE untuk menjadikan TNGP sebagai lokasi penelitian dan pariwisata.

Berbagai program akan dirancang Pemerintah Kabupaten Kayong Utara (KKU) guna menjaga keasrian dan keindahan TNGP. Menjaga keamanan dan kenyamanan TNGP tak hanya menjadi tanggung jawab Badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung, akan tetapi itu merupakan tanggung jawab dan komitmen Pemkab Kayong Utara.

Menurut Hildy, ikon KKU ada dua yakni Gunung Palung dan Pulau Maya Karimata. Meski belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP, pihaknya berencana akan menjadikan TNGP menjadi lokasi yang benar-benar dikenal dunia luar.

Lokasi TNGP menurut Jonathan R Sweeney mahasiswa yang meneliti dari University Of California at Davis mengatakan, kalau TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi. Berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut ada di lokasi TNGP.

Dari beberapa penelitian menyebutkan kalau TNGP merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Lebih luas kalau TNGP terdiri atas daerah datar yang berawa dan daerah berbukit serta bergunung dengan puncak ketinggian terdapat di Gunung Palung. Berdasarkan penelitian itu, TNGP mempunyai iklim tropis dengan rata-rata curah hujan 3.000 mm per tahun dan suhu udara berkisar antara 25,5° - 35° C.

Untuk jenis faunanya, kata John sapaan akrab Jonathan R Sweeney, yang ada di TNGP antara lain kijang, babi hutan, ayam hutan, bekantan, orangutan atau si Pongo, lampiau dan lain-lain.

Keanekaragaman yang dimiliki TNGP, kata John, menjadi daya pikat bagi peneliti dunia untuk menjadikan gunung itu sebagai lokasi penelitian. Kekayaan hayati yang dimiliki TNGP tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah daerah, tapi hal tersebut juga menjadi tanggung jawab peneliti.

“Jika ingin menemukan apa yang akan diteliti, peneliti berkewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan Gunung Palung,” ucap John yang sudah sedikit fasih menggunakan bahasa Indonesia.

Sementara untuk menjaga habitat dan ragam tumbuhan yang ada di TNGP, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung memiliki cara sendiri. “Kami tidak hanya menjaga kawasan TNGP, tapi juga menjaga berbagai flora dan fauna dari peneliti,” jelas Hendra Gunawan SP salah seorang petugas Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung. Penelitian yang dipusatkan di Cabang Panti tersebut pernah memberikan sanksi kepada seorang peneliti yang hendak membawa sampel penelitian dari TNGP.

“Peneliti itu pernah tertangkap tangan sedang membawa sampel penelitian. Setelah berkoordinasi akhirnya kita memberikan sanksi dan memulangkan peneliti tersebut. Selain itu, kami juga menolak yang bersangkutan untuk melakukan penelitian di lain kesempatan,” ucap Hendra. (Kholil Yahya – Besambung)

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 3)

Perlu Kerja Keras dan Komitmen Bersama

Untuk membangun potensi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) sebagai kawasan penelitian dan kawasan wisata perlu kerja keras dan komitmen bersama. Tak hanya menjaga keasrian flora dan fauna dari tangan-tangan jahil, tapi Pemda berkewajiban untuk menghilangkan citra negatif mengenai Gunung Palung yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Upaya untuk menghilangkan citra negatif itu telah dilakukan Pemerintah Kayong Utara. Bersama unsur Muspida, Bupati KKU, Hildy Hamid BE berhasil menembus daerah tersulit di TNGP. Lokasi TNGP sendiri sebenarnya bisa di tempuh dari dua jalur, yakni air dan darat. Untuk menempuh jalur air membutuhkan waktu lima hingga enam jam. Sementara untuk darat hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Diperkirakan satu hari satu malam baru sampai ke lokasi.

Menurut badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai Taman Nasional Gunung Palung, Hendra Gunawan SP, terhitung sejak 1985 TNGP merupakan lokasi penelitian. Pada tahun tersebut seorang peneliti berkebangsaan Amerika masuk ke lokasi TNGP. Berbekal kerja sama dari LIPI, warga Amerika bernama Dr Mark Leighton masuk dan melakukan penelitian di lokasi tersebut. Entah apa yang diperbuat di sana. Aktivitasnya berlanjut hingga pada tahun 2001.

“Karena tidak jelas tujuan dari peneliti itu serta tidak transparan, maka izin nelitiannya dicabut,” cerita Hendra.

Tak hanya badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP yang ingin mengembangkan lokasi itu. Komitmen serupa juga dikatakan Hildy Hamid. Menurutnya, pihaknya saat ini meski belum merancang rencana perbaikan akses ke lokasi TNGP, akan menjadikan TNGP menjadi ikon yang benar-benar dikenal dunia luar. “Saat ini yang perlu kami lakukan yakni menghilangkan citra negatif mengenai pelarangan masuk ke kawasan TNGP,” ujar Hildy.

Selain akses keluar masuk yang akan disulap, pihaknya juga berencana akan membangun camp untuk para peneliti baik lokal maupun asing. Para peneliti tidak perlu masuk ke lokasi TNGP dengan susah payah. “Insya Allah dalam waktu dekat Pemda sudah bisa memperbaiki akses keluar masuk lokasi TNGP dengan sedikit memperbaiki akses sarana keluar masuk lokasi,” ungkapnya.

Camp itu akan di desain dengan sangat sederhana dengan memberikan pelayanan yang standar kepada para peneliti. “Tapi kita akan membatasi masyarakat umum untuk keluar masuk lokasi, demi menjaga keasrian lingkungan TNGP,” katanya.

Hasil penelitian tersebut selain menjadi arsip pribadi peneliti, juga akan menjadi referensi pemerintah daerah setempat. “Selain itu peneliti juga wajib menyimpan hasil penelitian di camp di mana peneliti tinggal,” ungkapnya.

Kendati Pemda tidak bisa menjadikan TNGP sebagai salah satu sumber PAD, namun Hildy bertekad untuk tetap melestarikan lingkungan TNGP dari sergapan tangan-tangan jahil pembalak. Akses keluar masuk yang semakin baik akan mengancam sumber kekayaan alam yang ada di TNGP.

“Bagi masyarakat yang hendak tahu lokasi cukup sampai camp peneliti. Biar peneliti yang memberikan penjelasan dan bagi masyarakat yang ingin tahu lebih banyak bisa mempelajari hasil-hasil penelitian,” jelas Hildy. Selain untuk tempat tinggal para peneliti, camp itu juga akan difungsikan sebagai sarana belajar bagi masyarakat dan para pelajar yang selalu ingin tahu mengenai ekologi dan ekosistem yang ada di TNGP. (Kholil Yahya – Bersambung)

Kamis, 16 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian – 2)

Peneliti Larang Masuk, Dirjen PHPA Cabut Izin

Keberadaan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) tak terlepas dari isu pelarangan masuk ke kawasan tersebut. Ada apa sebenarnya dengan lokasi TNGP? Apa yang dilakukan peneliti, sehingga masyarakat tidak diperbolehkan masuk ke kawasan itu? Benarkah masyarakat dilarang peneliti masuk ke TNGP? Pertanyaan ini kerap muncul yang kemudian menjadi multitafsir di kalangan masyarakat KKU.

Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP, Hendra Gunawan SP menjelaskan, sebenarnya lokasi TNGP yang kemudian dijadikan lokasi penelitian sudah dibuka sejak 1985 seiring datangnya rombongan peneliti asal Amerika yakni, Dr Mark Leighton dari Harvad University.

Kedatangan peneliti itu mengantongi izin Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Dirjen PHPA) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan luas areal penelitian 1500 hektare. Sampai saat ini sudah 32 peneliti asing dan 44 peneliti Indonesia yang melakukan riset di TNGP Cabang Gunung Panti. Objek penelitiannya bermacam-macam mulai dari orang utan, hingga 10 tipe vegetasi yang ada di TNGP.

Untuk penelitian yang dilakukan, Jonathan R Sweeney mahasiswa University Of California at Davis meneliti primata (binatang-binatang utama yang ada di Gunung Palung yakni, orangutan, lempiau dan kelasi) serta meneliti botani (ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan).

Isu pelarangan masuk ke daerah TNGP yang berkembang menjadi opini publik bermula dari ditolaknya sejumlah warga yang masuk ke lokasi TNGP. “Yang saya ketahui memang sebelumnya ada isu menyebutkan ada beberapa orang yang hendak berkunjung ke lokasi TNGP. Namun masyarakat tersebut langsung ditolak untuk masuk ke areal lokasi penelitian,” jelas Heri salah seorang pegawai honorer TNGP.

Fase pelarangan itu berawal dari datangnya seorang peneliti bernama Dr Mark Leighton dari Harvad University. “Dialah orangnya yang pertama kali masuk ke areal TNGP untuk melakukan pada tahun 1985. Dialah biang keroknya yang selama ini tidak memperbolehkan warga sekitar masuk,” tukasnya.

Sejak 1985 hingga 2001 kesan mengenai Gunung Palung yang tidak boleh dimasuki masyarakat memang benar adanya. Kekuasaan Dr Mark Leighton terhadap daerah Gunung Palung memang benar dan nyata. Meskipun tidak ada pernyataan resmi, Mark memang benar-benar telah menguasai daerah Gunung Palung, sehingga warga sekitar yang ingin berkunjung tidak diperbolehkan atau dilarang masuk ke lokasi tersebut.

Tak hanya masyarakat yang tak mendapatkan akses untuk mengunjungi, tetapi juga Badan Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP juga dikondisikan oleh Mark. Tak ingin Mark semakin menjadi-jadi, melalui surat resminya, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Balai TNGP meminta kepada Dirjen PHKA.

Alhasil pada 2001, Dirjen PHKA mencabut izin penelitian yang dilakukan. “Sejak itulah penelitian dihentikan selama kurang lebih 5 tahun,” jelas Hendra. Sejak pencabutan izin penelitian yang diberikan kepada Mark, TNGP menjadi lengang tanpa kegiatan. “Paling ada peneliti-peneliti lokal, itupun hanya penelitian singkat semacam obeservasi,” tukasnya. (Kholil Yahya/Bersambung)

Rabu, 15 Oktober 2008

Menelusuri Kekayaan Taman Nasional Gunung Palung (Bagian 1)

Ajang Penelitian yang Sulit Diakses

Flora dan fauna di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara (KKU) memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan para peneliti asing. Kebanyakan peneliti tersebut berasal dari Amerika untuk melakukan riset.

Lokasi TNGP sulit diakses. Dari Kecamatan Sukadana, Ibu Kota Kabupaten Kayong Utara, jarak tempuhnya diperkirakan 69,1 kilometer. Untuk masuk dan sampai ke TNGP diperlukan waktu lima hingga enam jam dengan menggunakan speedboat. “Jika cuaca dan air sungai tidak surut, bisa ditempuh 5 jam,” kata Surya, salah seorang driver (tukang speedboat, istilah warga Kabupaten Kayong Utara).

Sebelum sampai ke lokasi TNGP, pengunjung akan melewati setidaknya tiga anak sungai yakni Sungai Rantau Panjang, Sungai Sebarat dan Sungai Air Merah.

Sabtu (11/10), Bupati Kabupaten Kayong Utara (KKU) Hildy Hamid BE bersama rombongan mengunjungi lokasi tersebut. Ketika rombongan memasuki Sungai Sebarat, terpaksa berpindah tempat. Awalnya dari daerah Sukadana hingga ke Sungai Rantau Panjang, rombongan menaiki speedboat yang lumayan besar.

Namun, karena kondisi sungai yang semakin sempit membuat rombongan berpindah ke speedboat yang lebih kecil. Kendaraan sedikit terhambat karena mesin sering akibat sudah terlalu tua.

Surya yang sudah lama bekerja sebagai driver mengatakan, selama ini tidak ada satupun pejabat yang mau berkunjung ke daerah TNGP. Baik itu dari pihak Pemkab Ketapang sebelum akhirnya dimekarkan menjadi KKU, maupun Pemprov Kalbar.

“Hanya waktu zaman almarhum Bupati Ketapang Sunardi yang pernah ke lokasi. Itupun diperkirakan sekitar 10 tahun yang lalu. Untuk pejabat yang lain itu belum pernah,” tukasnya sambil matanya terus melihat rute air yang dilalui.

Sampah dan kayu terlihat bergelimpangan di sepanjang sungai membuat perjalanan rombongan sedikit terganggu. Kendati hambatan itu pada akhirnya bisa ditangani namun perbaikan akses masuk sangat dinantikan.

Rombongan Muspida yang turun dan berkunjung langsung ke TNGP adaah Bupati KKU Hildy Hamid BE, Laisson Officer (LO) Polres Kayong Utara, Kompol H Sriyono SH MH, Kadis Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Ir Bimbing Parjoko, Kadis PU dan Pertambangan Edi Binsar Hatuaon Matondang ST MM, Kabid Pariwisata Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informatika Sunaryadi, Kabid Perencanaan Wilayah Bappeda KKU Ahmad Husni ST MT, Camat Simpang Hilir Drs Agus Suatman, LO Kodim Kayong Utara Kapten Suparman.

Setelah menempuh kurang lebih 6 jam akhirnya rombongan sampai di daerah TNGP. Karena sungai semakin dangkal dan tidak bisa dilalui, rombongan pun akhirnya turun dan berjalan kaki sekitar 1 jam menyusuri hutan. Setelah sampai di camp penginapan di sana, rombongan bertemu salah seorang peneliti kewarganegaraan Amerika Serikat bernama Jonathan R Sweeney.

Di TNGP itu, John—sapaan akrab Jonathan R Sweeney—sedang melakukan penelitian mengenai orang utan, monyet dan lempiau. Ia mendapat tugas dari University of California at Davis. John sudah tiga minggu berada di TNGP melakukan penelitian. Rencananya, pria berambut pirang ini akan menetap selama setahun guna penelitian. Dibantu beberapa asisten khusus yang mendampingi selama penelitian, dia sudah banyak melakukan penelitian mengenai binatang yang ada di lokasi. (Kholil Yahya/bersambung).

Senin, 13 Oktober 2008

Vaksin BCG Pembawa Petaka

Temuan terbaru, empat anak jadi korban setelah diberi vaksin BCG. Apa yang salah, vaksinya atau layanan medis?.


Hingga September 2008, Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar mencatat 10 kasus anak mengalami cacat fisik permanen disusul gizi buruk dan lumpuh layu. Kondisi tersebut setelah bayi mendapatkan vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG).

“Ini aneh, seharusnya imunisasi bertujuan untuk menyehatkan anak-anak dan memberi kekebalan kepada anak dari segala penyakit. Tampaknya harus dikaji ulang apakah vaksinnya yang bermasalah atau standar pelayanan para medis yang harus diperbaiki,” ujar Direktur YNDN Kalbar, Devie Tiomana ST kepada Equator, Jumat (12/9).

Sepuluh anak itu antara lain Temu, M Rizki, Trimo Urip, Yau Sing, Fitri Octaviani, Ramadan, Adi, Andi Fitriandi dan dua lainnya Maulana dan Rizki telah meninggal dunia.

Peristiwa ini, kata Devie akan berdampak traumatis kepada ibu-ibu yang memiliki anak usia balita. “Ibu akan enggan melaksanakan vaksinasi, sebab ada ketakutan mengalami seperti beberapa kasus tersebut,” ujarnya.

Devie meminta kepada Dinas Kesehatan untuk bertanggung jawab terhadap persoalan ini. “Dinas kesehatan harus melakukan upaya preventif sebelum terjadi yang lebih besar lagi. Kami saat ini sedang memperjuangkan jaminan sosial hidup anak-anak yang mengalami cacat permanen. Mudah-mudahan saja tahun ini sudah bisa direalisasikan,” ungkapnya.

Temuan terbaru di Kelurahan Siantan Tengah, Pontianak Utara terdapat empat korban mengalami kondisi mengenaskan setelah divaksin BCG. Zulaiha, ibu dari Fitri, salah seorang korban menjelaskan anaknya cacat dan terserang gizi buruk sejak usia 40 hari. “Penyebabnya saya tidak tahu persis. Yang jelas waktu itu Fitri diimunisasi di Puskesmas Siantan Tengah, Pontianak Utara dan disuntik BCG. Usai disuntik mengalami panas yang diikuti kejang,” tutur Zulaiha kepada Equator, kemarin.

Bingung melihat kondisi anaknya itu, Zulaiha membawa Fitri ke Puskesmas untuk meminta pertanggungjawaban. Bukannya memberikan solusi, pihak Puskesmas malah memberikan selembar kertas rujukan ke rumah sakit dr Soedarso.

“Di Soedarso hanya dirawat beberapa hari karena tidak ada perkembangan, selanjutnya kami bersama keluarga memindahkan ke RSSA Antonius hingga beberapa hari,” jelasnya.

Di RSSA Antonius, Fitri sempat tidak sadarkan diri hingga beberapa hari. Kepala Fitri membesar dan dia tidak sadarkan diri. Kondisi Zulaiha saat ini hanya bisa terbaring lemas di kediamannya di Jalan Selat Sumba, Pontianak Utara. Fitri sampai sekarang masih tetap mengonsumsi obat saraf.

“Kalau dia tidak minum obat saraf, dia akan berteriak-teriak dan akan menyusahkan kami sekeluarga,” ungkap Zulaiha yang suaminya bekerja sebagai buruh lepas inin.

Hal sama dirasakan keluarga Bakar Said, 36 dan Maryati, 32. Anaknya, Ramadan, 12, mengalami cacat permanen diikuti gizi buruk. “Sehari sebelumnya disuntik vaksin BCG. Badannya panas, muntah-muntah dan buang air besar,” ungkap Maryati ibu korban yang bekerja sebagai tukang cuci.

Jika Fitri Ocatviani sakit dan mengalami cacat sejak usia 40 hari hingga usianya 11 tahun, Ramadan dari usia 6 bulan hingga usia 12 tahun. Tak hanya meninggalkan cerita pilu di keluarga Bakar dan Maryati, bahkan keluarga ini juga mengalami trauma berkepanjangan. Tak heran dua anaknya yang lain hingga kini tak pernah di imunisasi.

“Untuk apa di bawa ke Posyandu jika nantinya akan bernasib seperti Ramadan. Ini juga tidak di bawa anak saya baik-baik saja kok,” tukasnya menyesali peristiwa yang menimpa Ramadan.

Peristiwa sama dialami keluarga Safarudin dan keluarga Mahdah yang tinggal di Kelurahan Siantan Tengah, Pontianak Utara. Anak Safarudin bernama Adi, 3, mengalami panas dan kejang-kejang sejak diberi vaksinasi. Demikian halnya Andi Firman, 14, anak dari Mahdah, usai diberikan vaksinasi mengalami panas dan kejang-kejang hingga akhirnya lumpuh.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Puskesmas Siantan Tengah, dr Felicia Limantara mengatakan, pihaknya akan memperjelas mengenai kasus tersebut. Sampai sejauh ini belum mengetahui persis riwayat kasusnya. “Kita akan segera mencari tahu dan secepatnya turun dan mengunjungi rumah korban,” ungkapnya singkat. (lil)

Lumpuh Layu Serang Tiga Bersaudara

Tiga orang bersaudara dari keluarga miskin Rusni, 25, Mat Derun, 23 dan Jumiati, 19, warga Jalan Tritura, Gg H Ansari RT 03 RW 05 Kelurahan Tanjung Hilir, Pontianak Timur terkulai layu. Ketiganya menderita Acute Placid Paralysis (AFP-lumpuh layu).
Penyakit yang diderita ketiganya tidak menyerang secara bersamaan. Rusni, gadis sejak kecil hobi membaca ini terserang penyakit lumpuh layu sejak usianya kala itu 10 tahun. “Pada saat itu saya masih berumur 10 tahun persisnya kelas II SD,” cerita Rusni kepada Equator, kemarin.
Sementara Mat Derun adiknya Rusni, dia sudah 13 tahun terserang penyakit lumpuh layu. Sejak itulah hingga sekarang dia hanya bisa terbaring lemas pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa. Lain halnya dengan Jumiati, 19, dia baru terserang penyakit lumpuh layu sejak tanggal 3 Maret 2007. Meskipun pada saat itu Jumiati mengalami kecelakaan lalu lintas, namun dia sadar betul kalau kecelakaan yang dialaminya sama sekali tidak ada hubungannya dengan lumpuh layu yang dialaminya.
“Kaki saya tidak patah ataupun keseleo, yang parah di bagian kepala saya kok,” jelas Jumiati yang juga hanya bisa duduk dan menyandar.
Sebelum Jumiati mengalami lumpuh layu, dia sempat bekerja di Jakarta menjadi seorang pembantu rumah tangga. Tiga kali pulang ke Pontianak membuat dirinya banyak menyimpan dan menabung uang hasil jerih payahnya sebagai pembantu rumah tangga. “Dulu sewaktu saya bekerja menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta sering mengirimkan uang ke bapak yang ada di Pontianak. Uang itu saya pasrahkan kepada bapak untuk digunakan sehari-hari dalam menghidupi keluarga. Namun, uang itu bapak belikan tanah,” kisah Jumiati mengingat masa lalunya.
Setelah Jumiati jatuh sakit, tanah itu akhirnya dijual sang bapak untuk biaya pengobatan sang anak. “Beberapa kali saya diterapi dan diobati, namun tidak ada hasilnya. Hingga akhirnya uang tanah habis dan saya juga tidak sembuh-sembuh,” aku Jumiati yang sempat menamatkan SMP.
Keinginan sembuh tidak saja muncul dari wajah Jumiati, Rusni dan Mat Derun juga menginginkan kesembuhan itu. Tak heran jika pada saat berdialog bersama Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar Devie Tiomana ST ketiganya mengutarakan keinginannya untuk memiliki kursi roda.
“Saya ingin sekali memiliki kursi roda, namun lebih menginginkan sembuh,” ucap Mat Derun yang kakinya sudah tidak bisa diluruskan lagi.
Ketiganya sangat yakin kalau suatu saat dirinya akan sembuh dan berjalan seperti biasa. “Tidak ada yang tak mungkin jika Allah menginginkan,” kata Rusni optimis. Menanggapi hal tersebut Devie dalam waktu dekat akan mengusahakan kursi roda yang diinginkan ketiga penderita lumpuh layu ini. Devie yang juga sebagai Ketua Harian Lembaga Perlindungan Anak di Kalbar akan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak anak. “Tidak hanya di bidang hukum dan namun sebagai penyambung lidah masyarakat itu sebagian tanggung jawab kami sebagai lembaga yang konsen menangani anak. Selain itu juga kami berupaya untuk mendekatkan diri terhadap pelayanan kesehatan bagi anak atau siapapun,” jelas Devie kepada sejumlah wartawan.
Lembaga yang dipimpinnya tidak hanya bergerak di bidang hukum akan tetapi di bidang sosial juga bergerak. “Bagaimana anak mendapatkan akses di bidang kesehatan dan pendidikan. Pendidikan dan kesehatan gratis justru jauh dari anak,” ungkapnya panjang lebar.
Sementara menurut keterangan Fatimah, 40, ia mengatakan kalau penyakit yang dideritanya anaknya tergolong aneh. Jika ada faktor genetika (faktor keturunan, Red) kenapa tidak ada turunan dari orang tuanya. “Mungkin, memang sudah nasib kami,” ujar Fatimah yang kesehariannya bertugas hanya menjaga anak-anaknya. Selain ketiganya kata Fatimah, anak bungsungnya yang bernama Wahyuni, 10, tampaknya akan mengalami hal serupa seperti kedua kakak dan abangnya. “Meskipun dia masih bisa berjalan normal, di bagian lututnya juga sudah mengalami rasa nyeri. Jadi saking sakitnya dia sampai menangis merintih tidak tahan. Kami bersama bapaknya sudah berusaha membawanya berobat ke rumah sakit untuk mencegahnya,” jelas Fatimah diiyakan Wahyuni. (lil)

Kasus Lumpuh Layu Kembali Ditemukan

Belum hilang cerita penderita gizi buruk, sekarang muncul penyakit lumpuh layu (Acute Placid Paralysis). Korbannya, dua orang bersaudara dari keluarga miskin, Sadam Husin, 17 dan Dam’in warga Jalan Parit Pangeran, Gang Melati II RT 2 RW 10, Kelurahan Siantan Hulu, Pontianak Utara. Penyakit yang diderita keduanya tidak menyerang secara bersamaan. Sadam Husin, pemuda yang seharusnya sudah tamat SMA ini terserang lumpuh layu sejak usianya 7 tahun. “Pada saat itu saya masih berumur 7 tahun persisnya kelas I SD,” cerita Sadam ditemui Equator, kemarin.
Sementara adiknya Dam’in, dia terserang sejak usianya 4 tahun. Sejak itulah hingga sekarang dia hanya bisa terbaring lemas pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Keinginan sembuh tidak saja muncul dari wajah Sadam Husin, keinginan itu juga timbul dari Dam’in yang juga menginginkan kesembuhan itu segera datang.
Tak heran jika pada saat berdialog bersama Direktur Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar Devie Tiomana ST keduanya mengutarakan keinginannya untuk memiliki kursi roda. “Saya ingin sekali memiliki kursi roda, namun lebih menginginkan sembuh,” ucap Sadam Husin yang perkataannya tidak begitu jelas.
Keinginan sembuh dari kedua bersaudara ini sama dengan apa yang diinginkan tiga bersaudara yang terserang lumpuh layu di daerah Tanjung Hilir, Pontianak Timur, Rusni, Mat Derun dan Jumiati. ”Saya sangat yakin kalau suatu saat kami akan sembuh dan berjalan seperti biasa. Dan tidak ada satupun yang tak mungkin jika Allah menginginkan,” kata Sadam Husin penuh rasa optimis.
Menanggapi keinginan keduanya Direktur YNDN Kalbar, Devie Tiomana ST dalam waktu dekat akan berusaha sekeras mungkun kursi roda yang diinginkan kedua penderita lumpuh layu ini. Devie yang juga Ketua Harian Lembaga Perlindungan Anak di Kalbar akan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak anak.
“Tidak hanya di bidang hukum di bidang sosial dan kesehatan kami akan memperjuangkan nasib mereka. Dan YNDN akan berusaha menjadi penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah. Selain itu juga kami berupaya untuk mendekatkan diri terhadap pelayanan kesehatan bagi anak,” jelas Devie.
Sementara, menurut keterangan bapak kedua korban, Mulayar, penyakit yang diderita anaknya tergolong aneh. ”Jika ada faktor keturunan kenapa tidak ada turunan dari orang tuanya dan kakeknya. Mungkin, memang sudah nasib kami,” ujar Mulayar.
Menurutnya, kasus anaknya tersebut merupakan kasus anak beberapa kali di kunjungi dari Pemkot dann dari DPRD Kota Pontianak. “Tapi hanya kunjungan, hingga sampai saat ini anak yang memerlukan kursi roda belum terpenuhi,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menceritakan persalinan istrinya yang tergolong normal. “Dia lahir normal dan tidak ada kelainan pada saat melahirkan,” ujarnya. Untuk kesembuhan keduanya, Mulayar sudah berulang kali membawa anaknya ke dokter dan ke dukun serta singsang guna kesembuhan kedua anaknya. (lil)